Tuesday, February 28, 2006

Dalam Selubung Kabut Rinjani 2

Tujuh malam di Rinjani, terperangkap kabut, dan hampir diselamatkan tim SAR. Bersama tiga teman kuliahnya sesama pencinta alam, wartawan Tempo Adek Media Roza mendaki Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, akhir tahun silam (yg bener akhir januari 2006. red). Dari rencana pendakian lima hari, rombongan terpaksa menghabiskan waktu tujuh malam delapan hari karena kabut dan angin kencang. Sempat berpencar, hampir jatuh ke danau, dan kehabisan bekal makanan, rombongan akhirnya berhasil turun, tepat pada saat bala bantuan SAR akan didatangkan. Tulisan ini yang terakhir dari dua artikel bersambung.


(kabut mulai merayap menuju danau segara anak)


Pagi hari kelima, seperti biasa, saya terjaga lebih dulu. Cuaca cerah dan langit biru membuat saya ingin segera keluar tenda. Hanya beberapa meter di depan tenda, ada sungai yang mengalirkan air dari puncak bukit. Ah, segarnya mencuci muka di pagi hari. Kami kemudian duduk di luar tenda, menikmati pemandangan yang indah meski Danau Segara Anak tidak terlihat dari posisi kami karena terhalang bukit lain.

Jalan setapak menuju danau terlihat jelas dari tempat kami bermalam. Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar teriakan yang beberapa hari terakhir saya kenal. Di ujung jalan setapak, di sebuah punggung bukit, terlihat sebuah titik hitam bergerak. Ternyata titik hitam itu adalah Ung, yang berniat menyusul kami. Kami balas berteriak. Kemudian Ung kembali ke danau. Enggan rasanya menyusul teman-teman ke danau.


Agak lama, kami baru berbenah, membongkar tenda, dan mengepak barang masing-masing. Kali ini, jalan yang kami lalui landai sehingga kami bisa berjalan santai. Tapi beberapa kali kami kesulitan karena harus menyeberangi air terjun. Saya sempat harus melepas tas karena meniti bebatuan curam di sekitar air terjun. Kurang dari satu jam lagi, kami akan sampai di danau.

Bukan main senangnya saat kami sampai di danau. Boy langsung memeluk kami. Ternyata ia memikirkan kami semalaman karena kami berjanji turun sore kemarin. Tanpa banyak bicara lagi, kami langsung disuguhi ikan bakar sebesar kaki. Ada tiga ikan bakar yang masih panas. Ternyata ikan-ikan itu ditangkap dengan mudah dari danau, tepatnya pada aliran sungai buangan dari danau. "Gampang kok menangkapnya. Airnya jernih dan ikannya terlihat jelas," kata Boy.

Saya dan Basuki langsung ke danau. Saya melihat gerombolan ikan berenang lamban. Di air dengan kedalaman sepaha itu, Boy dengan mudah menangkapi ikan. Bahkan beberapa kali ia melepas hasil tangkapannya karena kurang besar. Saya pun ikut turun ke air. Ah, ternyata ikan-ikan di sungai begitu jinak. Kaki saya kerap ditabrak ikan. Namun, saya tidak berhasil menangkap ikan. Meski sudah saya pegang, ikan-ikan itu begitu licin dan akhirnya lepas.

Putus asa, saya menggunakan potongan kayu untuk memukul ikan. Kali ini saya berhasil meski bukan ikan besar yang saya tangkap. Empat ekor ikan berhasil saya pukul dengan tongkat kayu. Lumayan untuk digoreng.

(nelayan gunung mencari ikan, aliran sungai dan pinggiran danau dipenuhi ranting-ranting yang terbawa banjir masuk ke danau)

Dari siang hingga sore kami habiskan waktu dengan menangkap ikan dan makan ikan bakar dan goreng. Telur ikan menjadi rebutan di antara kami. Saat kami makan, terlihat anjing hutan memperhatikan. Demikian pula beberapa ekor monyet yang turun dari pohon pinus.

(gunung baru diselubungi kabut tipis)

(nelayan-nelayan gunung dengan tangkapannya) (trio nelayanbeto)

Menjelang malam di danau, kabut mulai turun. Angin kencang mulai menggetarkan tenda kami. Memandang ke danau membuat bulu kuduk saya bergidik. Sepi, gelap, dan terkesan angker. Sementara itu, Ung sibuk mengasapi ikan-ikannya yang kini berjumlah tujuh ekor. Saya dan teman-teman kembali main domino. Kali ini tidak ada sesi khusus makan malam karena kami sudah kekenyangan makan ikan dari siang hingga sore hari.

(gunung baru)

Hampir Jatuh ke Danau

Sibuk dan khawatir, itulah yang mengganggu Basuki dan Boy. Sudah enam hari kami di gunung. Kedua teman saya ini memang harus kembali ke kantornya masing-masing pada 1 Februari. Saya sendiri lebih santai karena masih cuti hingga akhir pekan. Sebenarnya Boy mengajak kami turun kemarin, tapi saya menolak karena sangat lelah. Toh, hari ini kami memang harus pulang karena persediaan makanan yang kami siapkan memang hanya untuk lima hari dari rencana pendakian empat hari.

(devi, satu-satunya nelayan gunung cewek dengan ikan tangkapannya)

(ikan-ikan tangkapan sedang dibersihkan oleh ung)

Setelah sarapan dengan menu spageti, kami berbenah membongkar tenda. Pagi hari hujan gerimis masih mendera, tapi pukul 09.00 udara kembali cerah. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri mandi. Malas rasanya saya menuju ke air panas karena harus menuruni bebatuan. Saya pun langsung mandi di aliran sungai danau. Terik matahari mengurangi sengatan dingin air. Di pondok, saya melihat Basuki masih sibuk membakar ikan. Ia baru saja menangkap beberapa ekor ikan. "Untuk di jalan," katanya.

(ikan dijemur sebelum diasap, foto yang terakhir gw ambil di rinjani)

Satu jam kemudian, kami berangkat. Menuju Senaru, kami harus menyusuri sebagian tepi danau. Karena air tinggi, jalan setapak di tepi danau tidak terlihat lagi. Bahkan, kami harus memanjat tebing karena enggan berenang sambil membawa tas yang berat. Jalan yang seharusnya bisa ditempuh 15 menit harus kami lalui selama satu setengah jam. Saya sempat hampir jatuh ke danau karena batu yang menjadi pegangan saya di tebing tiba-tiba copot. Kesal juga harus merayapi tebing. "Gila, gue cuma bisa mendaki gunung, bukan manjat tebing," pikir saya.

Sesampai di seberang danau, kami melintasi longsoran bebatuan, lalu kembali ke jalan setapak. Lagi-lagi kami harus mendaki dan mendaki. Danau Segara Anak memang dikelilingi bukit sehingga untuk pulang harus kembali menaiki bukit. Kali ini, kami mendaki Bukit Pelawangan Senaru. Ternyata, jalur pendakian ini tak lebih nyaman dari sebelumnya. Banyak jalan setapak yang longsor sehingga hanya tersisa kurang dari setengah meter, bahkan ada yang terputus sama sekali.

Kali ini, terpaksa kami memanjat batu dan saling melepas tas untuk mengurangi beban saat bergelantungan di batu. Sayup-sayup saya mendengar teriakan Boy, mungkin berjarak setengah jam di hadapan saya. Itulah terakhir kali saya mendengar suara Boy di Rinjani. Setelah itu, kami terpisah dua hari lamanya.

Hujan deras dan kabut menerpa kami sepanjang jalan. Awalnya saya enggan memakai jas hujan karena saya pikir hanya hujan sesaat. Tapi hujan tidak berhenti dan hawa dingin mulai mengalahkan panas tubuh saya. Apa boleh buat, hujan bukan lawan saya. Saya akhirnya memakai jas hujan. Setelah hampir lima jam berjalan, sekitar pukul 16.00, kami sampai di puncak Pelawangan Senaru. Puncak yang berupa cadas gundul tanpa tanaman. Di puncak ini kabut semakin tebal. Kami tidak bisa melihat jalan karena jalurnya berada di hamparan batu cadas dan tidak ada penunjuk arah.

Hampir 15 menit kami mencari jalan hingga kami putus asa dan mencari lokasi tepat membuka tenda. Kabut semakin tebal sehingga saya dan Basuki beberapa kali tidak bisa melihat satu sama lain. Jarak pandang tak lebih dari lima meter. Rencana turun hari ini batal. Saya dan Basuki harus menginap semalam lagi, berharap esok kabut pergi.

Saya dan Basuki memeriksa logistik yang tersisa: tujuh ekor ikan asap, enam potong agar-agar, empat kantong kopi, empat bungkus agar-agar mentah, dan sebungkus cokelat butir, serta minus air. Untunglah hujan turun sehingga saya bisa menampung airnya untuk diminum. Tapi hujan ini pula yang membuat kami kebingungan karena tenda saya menjadi kolam dan kami pun terpaksa menimba air dari dalam tenda. Sesekali Basuki mengepel tenda dengan baju yang ia pakai tadi.

Malam itu, kami tidak bisa tidur karena hujan sangat deras. Tenda basah. Kantong tidur Basuki juga basah dan tidak bisa dipakai. Tinggal kantong tidur saya yang kami jadikan selimut buat berdua. Menjelang dini hari, hujan berganti gerimis. Kami menyantap agar-agar danlangsung tidur. Dari kejauhan, terdengar deru angin.

Teror Kabut

Pagi ketujuh. Inilah hari yang paling membosankan sepanjang pendakian yang pernah saya lewati. Sejak pagi hingga sore hari, saya dan Basuki hanya berada di dalam tenda, menanti kabut pergi. Basuki menghidupkan telepon genggam, menulis pesan, dan berlari ke tiga puncak cadas tertinggi untuk mendapatkan sinyal tapi sia-sia. Yang didapat hanya rasa dingin yang menusuk karena gerimis belum juga reda. Jam demi jam kami lalui dalam gelapnya kabut. Dalam keputusasaan, saya dan Basuki hanya memandang pesan singkat di layar ponsel yang tidak dapat dikirim. Isinya meminta seorang penunjuk jalan untuk menuntun kami turun.

Untuk sarapan pagi itu, saya sempat membuat kopi. Siangnya, Basuki membuat api dengan kayu untuk membakar ikan. Celaka betul, kayu-kayu itu basah diguyur hujan. Gila, kami perlu waktu berjam-jam untuk mendapatkan api. Beruntung saya menemukan sebotol minyak tanah yang ditinggalkan pendaki lainnya. Ikan asap kami buka dan seekor ikan kami bakar. Meski tidak bergaram--karena bumbu masak kami tinggalkan di danau--lumayanlah untuk pengganjal perut. Tak kurang dari 15 meter di depan tenda kami, berdiri salah satu puncak cadas bukit. Tapi tebalnya kabut menutupi cadas itu.

Duh Tuhan, apalagi yang bisa kami lakukan kecuali bermalam lagi dan berharap esok cerah. Nekat mencari jalan di tengah kabut tebal sama saja bunuh diri. Bisa-bisa malah kesasar lebih jauh. Apalagi ada beberapa cabang jalan yang tidak jelas arahnya. Sesekali ada harapan udara cerah, saat matahari muncul. Tapi matahari yang muncul bak bulan sabit tak bisa menembus tebalnya kabut. Selang beberapa menit kemudian, kabut semakin tebal.

Hari yang terasa sangat panjang itu kami lalui dengan bermain kartu domino dan berbagi cerita. Kami berharap ada pendaki lain melintas sehingga menjadi penunjuk jalan. Suara langkah kaki yang saya kira pendaki lain ternyata hanya anjing hutan yang sibuk mengamati kami. Sambil mengisi waktu, saya kembali mengepel tenda serta mengatur letak peralatan dan barang-barang kami.

Pukul 19.00, hujan gerimis masih turun. Persediaan air kami sudah lebih dari cukup. Kami pun tidur. Malam terasa sangat panjang. Dalam selubung kekhawatiran, setiap jam kami terjaga, berharap hari sudah pagi. Seribu satu kegalauan menyelimuti hati saya. Terbayang orang-orang tercinta di Jakarta. Juga teman-teman di Mataram yang mungkin menunggu kabar dari kami. Dengan pikiran galau dan lelah, akhirnya saya bisa memejamkan mata.

Turun Gunung Bak Selebritas

Hari kedelapan. Pagi yang dinanti itu datang jua. Pukul 06.00, saya mengintip keluar tenda. "Ah, gelap." Saya berharap sebelum pukul 12.00 hari akan cerah. Tapi kabut enggan pergi. Padahal angin kencang bertiup menerpa tenda kami, tapi kabut tetap bertahan. Segelas kopi tak bisa menghilangkan lapar.

Basuki kembali membakar ikan. Kali ini, ikan--yang memang kurang sempurna pengasapannya--mulai membusuk. Apa boleh buat, perut lapar tidak bisa menunggu. Memakan butiran cokelat pun tidak mengurangi lapar, hanya membuat enek. Ikan bakar yang mulai busuk itu menjadi santapan makan siang kami. Alamak! Saya hanya bisa makan sedikit karena tidak tahan bau busuknya.

Dalam keadaan lapar itu, terlintas dalam pikiran saya tikus-tikus hutan yang berseliweran di dekat tenda kami tadi malam. Jika harus bermalam lagi, saya bertekad akan menyantap tikus itu. "Daripada makan bakso tikus di Jakarta," kata saya dalam hati.

Menjelang pukul 13.00, apa yang kami nantikan datang juga. Kabut tersapu angin, langit biru, dan matahari menyengat. Semua peralatan dan pakaian yang basah saya keluarkan untuk dijemur. Saya lantas berlari ke salah satu puncak cadas untuk melihat jalur pendakian. Dari kejauhan, meski jalur pendakian berada di atas cadas, saya dapat melihat dengan jelas karena terlihat lebih mengkilap terpantul cahaya matahari. Saya langsung berlari mengikuti jalur dan mendapati sebuah patok bertulisan 7,5 kilometer.

Bukan main senangnya. Saya langsung mengabari Basuki. Saat saya kembali ke tenda, kabut tebal kembali turun. Tidak ada lagi langit biru dan cahaya matahari. Kami pun bimbang memutuskan, apakah akan kembali bermalam atau nekat meneruskan perjalanan. Tapi Basuki meyakinkan saya, "Kalau sudah ketemu patok, kita pasti bisa ketemu jalan sampai hutan," katanya.

Pukul 14.00, kami angkat kaki. Cadas yang gelap membuat saya gamang menentukan jalan. Saya pun kesulitan mencari patok yang tadi saya temukan karena jarak pandang kembali kurang dari lima meter. Akhirnya, patok itu saya temukan. Tapi patok bukanlah penunjuk jalan. Cadas yang luas membuat saya dan Basuki kembali kesulitan menemukan jalur turun.

Kalau sudah begini, coretan cat di batu dan sampah bekas pendaki menjadi penunjuk jalan. Untunglah kami menemukan coretan-coretan dan bungkus permen atau puntung yang terserak. Kami berhasil mencapai pos peristirahatan sebelum cadas. Lega rasanya dalam hitungan beberapa jam lagi kami bisa sampai di kaki gunung.

Rasa lapar pun hilang. Kami memasuki hutan dengan jalur pendakian yang jelas. Tidak peduli kabut tebal dan hujan deras, kami terus ngebut menuruni bukit. Pukul 17.30, kami sampai di gerbang taman nasional, Desa Senaru. Setengah jam perjalanan dari gerbang, kami mendapati pos pendaftaran Senaru. Di samping pos berdiri deretan rumah khas Sasak, di kawasan desa tradisional. Alhamdulillah! Kami kembali ke peradaban, melihat sepeda motor dan mobil melintas setelah tujuh malam di gunung. Malam harinya, pukul 21.00, kami kembali ke Cakranegara, rumah pak Made.

Pak Made dan teman-teman kami begitu senang melihat kedatangan kami. Kami disambut gembira bak selebritas. Andai saja kami belum turun dan tidak memberi kabar malam itu, paginya mereka dan tim SAR akan mencari kami di puncak. Tidak terbayangkan saya dan Basuki akan jadi terkenal gara-gara terkurung kabut Rinjani. ADEK MEDIA ROZA


..............

koran tempo, minggu 26 februari 2006

http://korantempo.com/korantempo/2006/02/26/Perjalanan/

0 Comments:

Post a Comment

<< Home