Monday, February 20, 2006

Dalam Selubung Kabut Rinjani

Bersama tiga teman kuliahnya sesama pencinta alam, wartawan Tempo Adek Media Roza mendaki Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, akhir tahun silam (yang bener akhir januari 2006 red). Dari rencana pendakian lima hari, rombongan terpaksa menghabiskan waktu tujuh malam delapan hari karena kabut dan angin kencang. Sempat berpencar, hampir jatuh ke danau, dan kehabisan bekal makanan, rombongan akhirnya berhasil turun, tepat pada saat bala bantuan SAR akan didatangkan. Catatan perjalanan Adek kami turunkan dalam dua tulisan bersambung di rubrik ini.
Rinjani, Kami Datang!
Berniat menghabiskan cuti tahunan dengan aktivitas yang agak "berbeda", saya memutuskan menerima ajakan sejumlah teman semasa kuliah untuk naik gunung. Rinjani menjadi pilihan kami. Kebetulan saya belum pernah menjamah gunung terkenal yang satu ini.
Meski sang kekasih awalnya tidak suka saya berangkat dengan alasan musim hujan dan cuaca buruk, saya memutuskan tetap berangkat. Pikir saya, "Maaf sayang, ke Rinjani belum tentu bisa setahun sekali." Akhirnya saya, Basuki, Devi, Boy, dan dua teman lain berangkat ke Lombok.
Basuki, teman saya yang pernah naik Rinjani pada 2001, mengajak menginap di rumah Pak Made di Cakranegara. Jaraknya sekitar 2,5 kilometer dari Mataram. Basuki mengenal mantan pemandu wisata--yang kini sibuk melakukan eksplorasi geologi di Lombok dan Sumbawa--itu saat satu kapal menuju Lombok.
Setelah menghabiskan malam yang sejuk, pada 26 Januari 2006, saya, Boy, Basuki, dan Devi bersiap berangkat ke Rinjani. Dua teman kami lainnya urung berangkat karena kondisi kesehatan mereka tidak memungkinkan.

(halaman belakang rumah pak made yang tenang)

Pagi itu, kami berangkat sekitar pukul 10.00 Wita. Tujuan pertama kami adalah Sembalun Lawang, salah satu pintu pendakian ke Rinjani. Letaknya di tenggara gunung. Pak Made yang luar biasa baik hati itu--karena menjemput kami di pelabuhan Lembar dan menyediakan tempat menginap di rumahnya yang luas--mengantar kami sampai ke Sembalun dengan jip perkasanya. Pak Made pula yang mencarikan porter, pengangkut beban mendaki, untuk membawa beban Boy dan Devi.
Satu setengah jam perjalanan, jip mulai melintasi jalan pegunungan dengan tanjakan terjal dan berliku-liku. Udara dingin mulai menusuk tulang karena jip Pak Made yang terbuka. Sialnya, pagi itu saya hanya mengenakan kaus oblong. Pak Made mengatakan, kami akan melintasi jalan setinggi 2.000 meter di atas permukaan laut.
"Tidak semua mobil bisa melintasi jalan ini," kata Pak Made. Sesekali kabut tebal membatasi jarak pandang. "Bunga Edelweiss!" kata seorang teman yang duduk di bangku depan. Bunga yang akrab dengan para pendaki gunung ini memang hanya ditemukan di ketinggian minimal 2.000 meter dpl. Jip terus mendaki melewati kawasan hutan tropis yang lembab.
Belum selesai saya memelototi Edelweiss, kami sudah berada di puncak tertinggi jalan. Di sebelah kanan, jauh di bawah, terhampar Lembah Sembalun dengan ketinggian sekitar 1.000 meter dpl. Jip Pak Made berjalan menurun. Tidak lama, kami melintasi sebuah dusun yang terkena musibah longsor beberapa hari sebelumnya. Sejumlah rumah rata dengan tanah karena hantaman bebatuan besar.
Tak sampai sepuluh menit, kami tiba di pos pendaftaran pendakian. Barang-barang kami turunkan dari jip. Saya dan Basuki mencari warung untuk membeli minyak tanah dan nasi bungkus. Dasar penggila kerupuk, di warung itu saya sempat memborong satu bungkus besar kerupuk. "Lumayan untuk stok," pikir saya.
Di pos pendaftaran, petugas memperingatkan kami. "Musim hujan kurang bagus untuk mendaki, banyak kabut dan perjalanan akan melelahkan."
Ini memang pendakian pertama saya sejak tahun 2000. Tapi saya yakin tidak akan ada masalah. Naluri pendaki gunung saya merasa jalur Rinjani tidak lebih berat dari jalur lain sekelas Gunung Kerinci di Sumatera, yang pernah saya datangi. Dengan agak sombong, saat itu saya bergumam pada diri sendiri, "Yang lebih berat dan tinggi dari ini udah pernah gue jajal."
Sebelum berangkat, rombongan kami berbagi beban. Saya sempat kaget ketika Basuki meminta saya memasukkan botol minuman ringan ukuran 1,5 liter, dua kilogram beras, beberapa bungkus mi instan, dan enam tabung gas ke dalam ransel carrier saya. Belum sempat memprotes, Basuki menjawab, "Sorry, porternya minta isi tas dia dikurangi."
Alamak! Padahal saya sengaja memasukkan barang-barang berat kami ke dalam tas si porter itu. Dengan tambahan beban tersebut, saya akhirnya harus memanggul beban sekitar 17 kilogram menuju Rinjani.
Melihat beban yang lumayan berat itu, Pak Made sempat menawarkan tambahan seorang porter. Saya sempat bimbang, tapi akhirnya memutuskan menolak. Gila saja kalau harus membayar Rp 100 ribu semalam untuk pembawa beban saya itu. Seraya menahan gengsi (malu dong pendaki gunung tidak kuat membawa beban), saya meyakinkan Pak Made kalau beban seberat itu masih terpanggul.
Lagi-lagi karena kebaikan hati Pak Made, beban berat yang saya panggul itu akhirnya berpindah kembali ke mobilnya. "Saya antar kalian sampai gerbang taman nasional," katanya. Jip tangguh Pak Made akhirnya mengantarkan kami melintasi jalan perkebunan berbatu.
Waktu saat itu sudah menunjuk ke pukul 14.00 WITA. Baru 10 menit jip berjalan, kami terpaksa turun. Mobil perkasa itu rupanya sudah tidak bisa berjalan lebih jauh karena aliran air menggerus jalan dan menciptakan lubang sedalam satu meter.

(iyus, devi, gw, boy, adek, urun, ung, pak made)

(tertatih-tatih menyeberangi sungai yang kering)

Setelah bersalaman dengan Pak Made, kami melanjutkan perjalanan. Ah, berat nian beban di punggung ini rasanya. Ung, porter kami, berjalan di depan bersama Boy dan Devi. Dua teman saya itu melenggang karena hanya membawa beban yang ringan. Saya dan Basuki, yang membawa beban dua kilogram lebih berat dari saya, tercecer di belakang. Setiap 10 menit saya memutuskan berhenti. Rasanya sudah tidak peduli lagi berapa jauh jarak kami di belakang kedua teman dan porternya itu. Kami bahkan sempat memakan bekal nasi bungkus yang dibeli di dekat pos pendaftaran tadi. Lapar sudah tidak bisa dijinakkan. Sekitar pukul 17.00 kami sampai di pos peristirahatan pertama. Rasa lelah membuat saya memutuskan mendirikan tenda untuk menginap di pos itu. Padahal awalnya kami berencana mencapai pos ketiga, yang berada di kilometer keenam. Kami mendirikan dua tenda. Saya bersama Basuki dan tiga orang lainnya dalam satu tenda yang ukurannya lebih besar. Sedangkan Devi--perempuan satu-satunya dalam rombongan kami--menempati tenda lainnya. Hari mulai gelap dan Ung mulai memasak untuk kami. Nasi, telur dadar, dan sayur sup menjadi menu malam pertama kami di Rinjani. Tubuh yang lelah membuat saya cepat sekali tertidur

(sebatang pohon kesepian di perjalanan dari posII ke pos III)

Dihadang Hujan di Pendakian
Entah kenapa, setiap kali mendaki gunung, saya selalu bangun pagi-pagi sekali. Pukul 05.00 saya sudah melek. Lambat-laun hari mulai terang. Tapi kami tidak bisa langsung berkemas karena gerimis tidak berhenti sejak dini hari. Pukul 08.00 hujan makin deras. Ung menyiapkan sarapan buat kami, mi instan.
Sekitar pukul 11.00, cuaca mulai cerah. Kami membongkar tenda dan mengepak tas masing-masing. Saat mengemas barang-barang, hujan kembali turun. Kami berteduh di bawah pos peristirahatan sambil melanjutkan berbenah. Ah, hujan memang selalu melemahkan semangat untuk memulai langkah.
Pukul 12.30, kami nekat menerobos hujan. Udara dingin menyerang. Tapi lima menit berjalan, rasa dingin berganti menjadi gerah. Tubuh penuh keringat karena kami berjalan dengan beban di pundak dan dada.
Seperti hari pertama, saya dan Basuki kembali tercecer di belakang. Dalam perjalanan, saya masih sempat mengirim pesan pendek kepada perempuan yang saya sayangi, yang sempat saya bikin kesal karena rencana pendakian ini.
Sejak pos pertama hingga perjalanan hari kedua, ponsel kami masih mendapat sinyal. Tapi saya berusaha menghemat baterai dan hanya menghidupkan ponsel jika saya ingin mengirim pesan pendek.
Menjelang pukul 15.00, hujan reda. Cuaca mulai cerah dan kami bisa melihat puncak gunung yang sesekali tertutup kabut tipis. "Aduh, masih jauh sekali," pikir saya.
Entah berapa jauh saya dan Basuki terpisah dari kelompok Ung. Saya mendapati ketiga orang itu sedang duduk santai di pos kedua. Hampir setengah jam mereka menunggu kami. Setelah beristirahat sekitar 15 menit, kami melanjutkan perjalanan. Jalur yang landai memudahkan kami sampai di pos III satu jam kemudian.

(liku-liku perjalanan menuju posIII)

Pos III terletak di tepi aliran sungai hujan. Pos ini bukan tempat yang tepat untuk bermalam. Setelah kami menyantap agar-agar, Ung menunjukkan lokasi tepat untuk membuka tenda, sekitar 15 menit perjalanan dari pos III. Rasa lelah tak bisa ditawar lagi. Kami membuka tenda dan memutuskan bermalam. Menu malam ini adalah nasi sayur dan telur dadar lagi.
Selesai makan malam, saya segera merebahkan tubuh di tenda. Waktu baru menunjukkan pukul 19.00. Tapi rasa kantuk karena lelah mulai datang. Belum sempat saya memejamkan mata, dari kejauhan terdengar gemuruh angin. Suara gemuruh makin dekat dan tiba-tiba hujan turun disertai angin. Saya dan Basuki sempat kelabakan karena angin membuat kain pelapis tenda copot dan nyaris terbang.

Untung kejadian itu hanya sekali. Selanjutnya, kami sibuk memperhatikan tenda karena rembesan air hujan membasahi beberapa sudut tenda. "Ah, mendaki di musim hujan memang tidak nyaman meskipun pada musim panas udara dingin lebih menusuk," kata saya.
Pukul 01.00 dini hari hujan mulai reda. Mata yang tadinya mengantuk sukar dipejamkan karena hati diliputi rasa waswas kalau-kalau tenda kami kembali digoyang angin. Setelah berusaha keras--dan terus membayangkan wajah orang-orang yang saya tinggalkan di Jakarta--saya akhirnya tertidur juga.

(camp kedua kami, disini menghabiskan 2 malam menanti cuaca sedikit bersahabat)

Nyanyian di Tengah Hujan
Hari ketiga, 28 Januari, adalah hari yang membosankan bagi kami. Seperti kemarin, saya terjaga pukul 05.00. Seperti kemarin pula, gerimis masih membasahi tenda kami. Setelah sarapan, kami berusaha kembali tidur karena tidak ada tanda-tanda gerimis akan reda. Jam menunjukkan pukul 10.00. Gerimis belum berhenti. Sesekali angin kencang dan hujan deras menghantam tenda kami yang berdiri berhadap-hadapan.
Terlalu lama tidur membuat kami pusing. Untunglah Boy membawa kartu domino sehingga kami bisa mengisi waktu. Dua jam bermain domino membuat kami bosan. Adapun Ung sibuk menampung air hujan dari tenda untuk memasak dan minum. Setelah makan siang, saya kembali berusaha tidur, tapi mata tak mau terpejam. Di dalam tenda, saya dan Basuki berusaha mengisi waktu dengan mengobrol. Lama-kelamaan, semua bahan obrolan habis dibicarakan. Mau apalagi di tengah hujan ini kalau tidak menyanyi.

(sebagian dari air hujan yang kami tampung, pengganti cairan tubuh yang hilang)

Puluhan lagu sudah kami nyanyikan. Berteriak keras sampai suara habis, tapi hujan belum juga berhenti. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 16.00. Kami memang terpaksa harus bermalam lagi di tempat yang sama karena tidak mungkin melanjutkan perjalanan. Malamnya, cuaca cerah. Inilah untuk pertama kali saya melihat bintang dari Rinjani. Setelah makan malam, saya membuat agar-agar menggunakan air hujan yang ditampung dari tenda. Kami pun kembali tidur dan berharap bisa melanjutkan perjalanan esok pagi.

(kabut yang datang silih berganti)

Puncak Tipuan
Pukul 05.00 pagi, saya mengintip ke luar tenda. Alhamdulillah, cuaca cerah. Sejam kemudian, semua awak terjaga. Saya langsung membagikan agar-agar yang saya buat tadi malam sambil menyeruput susu cokelat. Setelah makan, tanpa menunggu perintah, semua berbenah mengepak barang bawaan masing-masing dan membongkar tenda. Tepat pukul 07.00, kami melanjutkan perjalanan.
Jalur yang kami lewati kali ini mulai terjal dengan tingkat kecuraman sekitar 45 derajat. Kami terus meniti punggung gunung yang disebut tanjakan Tengengean.
Saya dan Basuki kembali tertinggal di belakang. Setiap istirahat kami sempatkan menyantap sebatang cokelat untuk menambah tenaga. Dua jam perjalanan, hujan turun. Saya terpaksa berhenti untuk mengenakan jas hujan. Kali ini kami mulai memasuki kawasan hutan pinus dan meninggalkan padang rumput.
Setelah hujan reda, cuaca kembali cerah yang menambah semangat melangkah. Pukul 11.30, kami tiba di puncak Bukit Pelawangan Sembalun. Inilah bukit tertinggi yang berdiri di samping puncak Rinjani. Dari puncak Pelawangan, terlihat jelas Danau Segara Anak terhampar berikut sebuah gunung baru yang menyembul di tengahnya.

(sebagian danau segara anak dilihat dari pelawangan sembalun)

(adek, gw, devi, boy di pelawangan sembalun berlatar belakang segara anak)

Dari Bukit Pelawangan Sembalun, jalan bercabang. Satu jalan menanjak ke arah kiri menuju puncak Rinjani dan jalan lainnya menuruni bukit menuju danau. Saya dan Basuki menuju ke puncak, sedangkan yang lain langsung ke danau. Saya berjanji turun ke danau sekitar pukul 16.00. Setelah mengambil foto dengan latar belakang danau, saya dan Basuki mulai meniti jalan ke puncak.
Meski cuaca cerah, puncak Rinjani, yang berada di ketinggian 3.762 meter dpl, tertutup kabut. Angin pun berembus makin kencang. Jalan menuju puncak merupakan tanah berpasir bercampur bebatuan. Kemiringan jalur yang melebihi 50 derajat ini benar-benar menguras tenaga. Belum lagi kami harus melalui jalan setapak bekas jalur air dengan kedalaman setengah hingga satu meter.
Waktu sudah pukul 15.00. Kami belum juga mencapai puncak. Puncak Rinjani berselimut kabut. Ketika angin sempat membawa pergi kabut, terlihat sebuah bongkahan batu. Saya dan Basuki senang bukan main. "Kita sudah dekat," kata Basuki.
Seperti mendapat suntikan tenaga baru, kami kembali bersemangat melangkah. Sesekali kami harus tiarap karena angin sangat kencang. Kami menyempatkan istirahat sambil minum susu cokelat. Tiba-tiba angin kencang datang, membersihkan seluruh puncak dari kabut. Langit biru. Kami terkejut bukan kepalang. Bongkahan batu yang kami kira puncak ternyata hanya bagian jalan yang harus ditempuh untuk mencapai puncak sesungguhnya.

(bergaya dulu berlatar belakang "candi prambanan")

("candi prambanan" yang membuat kami shock, masih jauh euy..)

Ketika kabut menghilang, tiba-tiba menyembul sebuah bongkahan batu lainnya, mirip Candi Prambanan, dari tempat kami terduduk. Inilah puncak sesungguhnya.Waktu menunjukkan pukul 15.30. Jalan semakin terjal. Angin yang sangat kencang berulang kali memaksa kami menunduk. Daripada berulang kali menunduk atau tiarap, saya memutuskan merangkak menuju puncak. Merangkak ternyata menguras tenaga lebih banyak. Tapi itu lebih baik daripada saya terbang terbawa angin. Setelah hampir satu jam, kami sampai di puncak.
Orang bilang, dari puncak Rinjani kita bisa melihat Gunung Agung di Bali dan Gunung Tambora di Sumbawa. Namun, kabut yang kembali datang membatasi penglihatan kami. Angin yang makin kencang mendorong kami untuk langsung turun.
Berjalan menuruni puncak bukanlah hal yang mudah. Jalur sempit berpasir membuat saya berulang kali terduduk. Bahkan kerap saya hanya bisa duduk merosot hingga celana saya kemasukan pasir.
Setelah dua jam yang melelahkan, kami berdua kembali ke Pelawangan Sembalun. Setelah duduk sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Turun ke danau karena hari sudah gelap.
Menuruni Bukit Pelawangan Sembalun ternyata harus melalui jalur yang sangat terjal. Jalan setapak terbuat dari bebatuan solid dan disertai tiang pengaman di pinggirnya. Beberapa kali saya dan Basuki sempat kebingungan karena jalur tertutup longsoran bebatuan. Rasa haus mulai datang. Persediaan air putih hanya tinggal sekitar 200 ml. Rasa lapar pun tak tertahankan.

(bongkar tenda di camp ketiga)


(satu sisi pemandangan dari camp ketiga kami -- adek dan gw)

(menikmati pemandangan sebelum berangkat menuju danau)

Syukurlah, setelah hampir dua jam menuruni jalan bebatuan, kami memasuki jalur yang landai di pinggang bukit. Dari kejauhan, gemericik air terdengar. Ah, ternyata kami melintasi sungai. Tanpa pikir panjang, saya dan Basuki langsung turun ke sungai, minum sepuasnya.
Setelah minum, kami melanjutkan perjalanan dan mencari lokasi yang tepat untuk membuka tenda. Dengan kondisi fisik yang sudah lemah, setelah berjalan sekitar 13 jam, kami memutuskan ke danau esok pagi. Akhirnya kami mendirikan tenda di tengah jalan setapak yang lumayan lebar, hampir dua meter. Di sebelah kiri kami menganga lereng curam, sedangkan di sebelah kanan adalah lembah yang tertutup kabut. (Bersambung)
ADEK MEDIA ROZA

.................
koran tempo minggu, 19 februari 2006 atau kunjungi
http://korantempo.com/korantempo/2006/02/19/Perjalanan/
belum sempat buat tulisan tentang perjalanan kemarin, untunglah temen gw dah nulis (dimuat di koran lagi!), jadi gw tinggal copy paste aja, hahaha... cerita ini bersambung di koran tempo minggu, 26 februari 2006

2 Comments:

Blogger RealMuhy said...

weits... asyik oi perjalannya.
yang latimojong tanpa bukti itu bisa dimasukkan ke kompas ndak? hehehe

12:56 PM  
Anonymous Anonymous said...

Wah keren pak...
Gw salut sama jompo2 yang masih kuat naik..
Mudah2an kalian kuat terus..

11:27 AM  

Post a Comment

<< Home