Monday, March 13, 2006

darah dan airmata

Hening. Kamar sempit itu berantakan. Berbagai barang tak tertata rapi, sebuah hanger baju berwarna kuning tergeletak begitu saja di atas kasur tanpa ranjang, sebuah novel kecil terlihat sebagian dari balik bantal tak bersarung. Meja yang berjarak 50 sentimeter dari kasur itu tak kalah berantakan. Buku-buku beragam ukuran berserakan di atasnya, sebungkus susu coklat ukuran 500 gram yang tak penuh lagi dan beberapa sachet cereal berada di antaranya. Batang sisa dupa beraroma opium yang dibakar malam sebelumnya terjepit di bawah buku tebal, abu hitamnya masih berserakan di bawahnya tak jauh dari asbak yang telah penuh dengan puntung rokok. Tidak begitu jauh dari meja itu di bawah jendela berteralis besi coklat yang terbuka teronggok tumpukan baju kotor entah telah berapa lama berada di sana, di sebelahnya sebuah dispenser yang sudah kosong tetapi masih dinyalakan. Yang menunjukkan kamar itu pernah rapi hanyalah deretan botol-botol minuman di bawah teve. Botol-botol berbagai bentuk dan ukuran yang sudah kosong itu tertata rapi, terlihat juga yang menata memperhatikan unsur estetik.

Sepasang manusia yang tak saling bicara termenung dengan pikiran masing-masing duduk di atas kasur itu. Entah telah berapa lama keduanya terdiam, entah apa mereka memikirkan hal yang sama. Keduanya menitikkan airmata, bukan airmata bahagia tentunya. Tetap sunyi, angin seperti mendesah perlahan menyelinap diantara kesunyian membentur benda-benda padat dalam kamar itu, juga sepasang manusia tak bersuara.
“cckkcckcck....cckkcckkcckk....” suara cicak tak berekor memecahkan keheningan malam itu dengan sabar menanti nyamuk yang tak pasti kapan akan lewat di dekatnya. Suara cicak itu menandakan adanya kehidupan dalam kamar, bukan hanya kesedihan yang memenuhi udara di sekelilingnya.

Hening. Bahkan angin pun tak betah berlama-lama berada dalam kamar seakan memberi kesempatan kedua manusia memadu kesedihan dalam kebisuan. Terasa pekat kesedihan mengambang di udara bercampur dengan bau hujan yang telah berlalu beberapa jam sebleumnya dalam kamar itu dan sepasang manusia di dalamnya tidak ada yang tahu bagaimana akhir dari cerita yang akan mereka lakoni. Orang-orang yang menghela nafas puluhan kilometeter dari kamar itu pasti akan merasakan anyir kepedihan yang terbawa oleh angin yang sempat mampir sejenak dalam kamar itu, meskipun mereka tidak tahu darimana kepedihan itu bersumber. Yang mereka tahu hanyalah adanya kepedihan itu dan mereka juga tidak peduli dari mana asalnya.

“Apa yang harus kita lakukan mas?” sekonyong-konyong wanita itu menemukan kata-kata untuk memulai pembicaraan.
“Aku juga enggak tau apa yang mesti kita lakukan,” jawab pria itu lemah tanpa solusi,”kamu kan sudah tau gimana melanjutkan hidupmu.”
“Tau apanya mas? Aku juga masih bingung mesti gimana...” balas wanita itu sambil matanya menerawang, airmatanya masih mengalir di kedua pelupuk matanya.
“Udahlah enggak usah pura-pura, aku tau kamu sama dia udah berbulan-bulan yang lalu memulainya cuma aku belum berani memastikan karena kamu selalu membantahnya.”
“Sama siapa mas?”
“Kamu masih menyangkalnya juga? Setelah aku mendapatkan bukti yang tak terbantahkan lagi kamu masih berpura-pura juga?” sergah lelaki itu, “aku tau kamu sudah memulainya berbulan-bulan yang lalu, dan setiap ditanya teman-temanku aku tidak menyinggung-nyinggung keberadaan pria barumu itu karena aku memang belum punya bukti yang kuat, sementara pengakuan darimu pun tak kunjung datang.”
Wanita itu diam saja, mungkin sedang merangkai jawaban yang tepat atau memang sudah klehabisan kata-kata. Untuk sementara mereka terdiam lagi, kesunyian kembali menyelimuti mereka, kesunyian dengan anyir kepedihan memenuhi kamar sempit itu lagi hingga menyeruak keluar dan tercium orang-orang yang berada puluhan kilometer jauhnya.

“Hanya untuk memastikan bahwa kamu memang sama dia,” laki-laki itu kembali berbicara setelah tak ada jawaban dari kekasihnya atau mantan kekasihnya itu, ”aku mengkhianati prinsipku sendiri untuk menghargai privasi setiap orang. Dan memang aku menemukan jawaban yang kucari selama ini, bukan pengakuan darimu tapi justru dari jalan yang tak pernah terkira olehmu. Kamu bisa mendustaiku, juga teman-temanku. Tapi aku belum begitu terbutakan cinta, mungkin cuma sedikit rabun saja sehingga masih melihat meski samar-samar seperti bayangan pepohonan di bawah sinar bulan purnama tertutup kabut. Kamu bisa bilang semuanya untuk melanjutkan hidupmu, tapi kamu pasti enggak bisa menipu dirimu sendiri, kamu sudah memulainya semenjak berbulan-bulan yang lalu dek!”
“Mas...”
“Tanda-tanda itu begitu jelasnya dek, begitu nyata,” lelaki itu mulai terbakar amarah, “tetapi andaikata di ruang sidang, tanda-tanda itu tidak bisa dijadikan bukti sehingga aku harus mencari bukti untuk membenarkan keyakinanku.”
“Iya mas, aku...”
“Aku sudah tidak perlu pengakuanmu lagi, memang aku sudah tidak bisa mempercayai kata-katamu juga airmatamu itu, simpan saja airmata itu untuk pria barumu.”
Wanita itu diam saja, tangisnya semakin menjadi.

“Dan berani-beraninya kamu melarangku untuk minum. Selama ini aku selalu mabuk oleh cintamu, atau mungkin sekedar dustamu memang hanya kamu yang tau. Aku ini memang pemabuk dek, yang selalu mendapatkan mimpi dan menikmati entah mabuk oleh apa. Ketika kamu tidak memberikan cinta, atau dusta yang memabukkan itu, wajar kan kalau aku minum untuk bisa mabuk lagi yang sudah begitu seringnya kunikmati denganmu. Aku hanya ingin menemui gabriel kecilku dek.”
“Gabriel siapa mas?” dengan terisak-isak terucap juga kata-kata dari mulut wanita itu.
“Dia hanya ada di atas langit sana, karena dia tau yang paling beruntung adalah yang tak pernah dilahirkan sehingga dia juga tak sudi terlahirkan ke dunia ini. Dia adalah anak kita dek, anak yang tak pernah terlahir di dunia ini.”
“Mas... kamu sudah gila mas, aku tidak kenal kamu yang sekarang ini. Aku mau kamu seperti dulu lagi mas,” pinta wanita itu.
“Kamu tau waktu tidak akan pernah berjalan mundur, gimana caranya aku bisa seperti dulu lagi, sedang kamu pun telah berubah dek. Kamu juga tau semua orang berubah, lalu kenapa kamu masih memintaku seperti dulu lagi?”
“Lalu apa maumu mas?” tanya wanita itu pasrah.
“Aku hanya ingin merasakan nikmatnya bercinta denganmu pertama dan terakhir kali, once in a lifetime karena aku tidak akan bisa bercinta dengan yang lain.”
“Tidak bisa mas, aku sudah punya orang lain dan aku tidak bisa mengkhianatinya.”
“Iya, aku tau kamu sudah punya pria lain. Semoga dia tidak akan pernah mengkhianatimu. Aku tau orang baik akan mendapatkan orang baik juga, sedangkan aku memang tidak cukup baik untuk orang sebaik kamu. Cuma aku memang tak tau diri selama ini, selalu mengharapkan orang sebaik kamu.”
“Mas jangan ngomong kayak gitu, mas baik kok.”
“Ya sudah, whatever you say lah.”
“Terus gimana mas, adek mesti gimana?”

Lama keduanya terdiam lagi, mempertimbangkan langkah apa yang harus mereka ambil. Waktu sudah menunjukkan jam 01:39, waktu yang sangat larut untuk wanita yang tak terbiasa tidur malam itu. Anyir kepedihan semakin memenuhi kamar itu, cicak yang tadi menanti nyamuk terbang di dekatnya juga sudah tak tampak lagi. Entah kemana dia pergi, tidak ada yang tahu apa dia sudah sempat mendapatkan mangsanya di sana.
Tiba-tiba saja lelaki itu bangkit dari duduknya, melangkah ke meja dan membuka lacinya. Dia mengeluarkan sebuah pistol semi otomatis Heckler & Koch yang dibelinya dari seseorang tiga hari seblumnya dan menimang-nimangnya sesaat kemudian berbalik menatap wanita itu yang semakin terisak, nampak jelas raut ketakutan di wajahnya.

“Mas! Apa yang akan kamu lakukan mas?”
Lelaki itu tetap diam menatap lurus ke mata wanita yang semakin histeris, airmata semakin deras mengalir dari matanya. Lelaki itu tak kuasa menahan airmatanya yang dengan cepat membanjir, menerjang keluar dari matanya.
“Aku hanya ingin mati di sisimu, enggak ada lagi lagi yang kuinginkan selain itu. Dan semoga kamu bahagia dengannya,” terbata-bata lelaki itu mengucapkan kata-katanya yang terasa sulit keluar dari mulutnya sambil mengangkat pistol itu.
“Mas! Jangan! Inget ibu mas...”
“Dor!” tiba-tiba saja terdengar letusan pistol itu memuntahkan sebutir proyektil yang menembus kepala lelaki itu dari kanan ke kiri. Darah muncrat dari kedua lubang di kepalanya, menyembur deras membasahi kedua pipinya terus mengalir memerahkan bajunya, beberapa titik darah menempel di muka wanita itu dan sebagian bajunya. Lelaki itu roboh di pangkuan wanita itu yang semakin histeris menggoyang-goyang tubuh tak bernyawanya.
“Mas! Mas!” airmata yang mengalir deras dari matanya bercampur dengan darah menggenangi lantai keramik putih kamar itu. Wanita itu menciumi dahi dan pipi manusia yang baru jadi mayat di pangkuannya.

Anyir kepedihan berbaur dengan kematian mengental di udara yang semakin menyesakkan bagi semua makhluk yang menghirupnya. Tercium hingga ratusan atau ribuan kilometer jauhnya, bau hujan sudah menguap entah kemana.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home