Wednesday, March 15, 2006

dongeng untuk gabriel

Sekarang adalah malam purnama, awan-awan yang tadi sore kelabu dan sebagian putih sekarang menguning seperti lukisan maestro seni lukis kelas satu yang karyanya dihargai jauh lebih tinggi sepeninggalnya. Awan yang tidak solid itu menghasilkan komposisi yang indah dengan gradasi warna yang sangat halus sungguh menenangkan hati siapa saja yang memandangnya. Kedua mataku enggan berkedip tak mau melewatkan keindahan yang tak pernah menampilkan satu komposisi yang sama, setiap detik berlalu selalu diikuti dengan perubahan komposisi meskipun sama indahnya.

Sudah beberapa jam lamanya aku menemani Gabriel memandangi panorama menakjubkan itu tanpa saling bicara, kami tiduran telentang di atas rumput tanpa alas kedua telapak tangan kami menjadi alas kepala kecuali saat merokok aku duduk sesekali. Entah telah berapa batang rokok kuhabiskan selama memandangi purnama itu.

“Pa, aku ngantuk,” Gabriel membangunkan aku dari lamunan, “ayo bobo Pa.”
“Masa udah ngantuk, kamu enggak nyesel melewatkan orkestra purnama ini, sepertinya mereka baru selesai memainkan intro,” kataku membujuknya, aku tidak tau saat itu jam berapa dan telah berapa lama kami memandangi purnama, “emang udah ngantuk banget ya?”
“Iya Pa, aku gak kuat melek lagi,” jawabnya setengah merengek.
“Ya udah ayo, mau bobo di mana?”
“Di atas Pa, biar cepet mimpi sampai di purnama itu. Aku ingin melihat purnama dari bulan Pa, sama bagusnya ga ya kalo diliat dari sana?”
“Tidak ada sesuatu yang sama jika dilihat dari tempat dan sudut berbeda sayang,” aku tidak tahu apa dia memahami yang kukatakan, “bahkan sesuatu yang sama dan dilihat dari tempat serta sudut sama oleh orang yang berbeda bisa menghasilkan pemandangan yang berbeda, tergantung pikiran masing-masing yang melihatnya.”
“Ayo Pa bobo,” katanya sambil menarik tanganku.

Aku bangun tidak menjawabnya lagi. Kami berjalan menuju pohon trembesi tempat rumah pohon kami, sebenarnya tidak tepat kalau disebut rumah karena bangunan di atas pohon itu hanya terdiri dari satu ruangan berukuran dua kali dua setengah meter yang terbuat dari papan kayu, atapnya juga dari papan kayu, mungkin lebih tepat kalau disebut kamar pohon. Di sekeliling bagian luar kamar pohon itu ada geladak selebar satu meter tanpa pagar, kecuali di bagian depan lebih lebar satu meter di mana Gabriel biasanya bermain catur dengan Slamet yang berumur dua tahun lebih tua, anak tetanggaku.

Kamar pohon itu kira-kira berada lima belas meter di atas pohon, dengan tangga tali yang menjuntai ke bawah sampai tanah. Dengan hati-hati aku menaiki tangga tali sambil menggendong Gabriel di punggungku, ada empat puluh delapan anak tangga dari bawah sampai ke teras kamar pohon.

“Pa, aku kangen mama,” tiba-tiba saja Gabriel mengagetkan aku dengan suara pelannya ketika aku baru menginjak tangga ke dua puluh sembilan, seketika itu aku berhenti dan melirik Gabriel ke belakang. Sekilas masih sempat terlihat komposisi purnama yang berbeda lagi, kali ini semakin sedikit awan tipis yang tersisa.
Aku tetap diam melirik matanya yang sayu, kemudian melanjutkan menapaki anak tangga tali satu per satu.

“Kenapa Papa diam aja?”
“Nanti sampai di atas kita bahas ya,” jawabku sambil terus menaiki tangga tali dan berharap sesampai di atas dia lupa menanyakan lagi karena langsung tertidur.
Sampai di teras, aku langsung menuju ke dalam kamar pohon. Tidak ada kasur di kamar itu, hanya ada dua buah kantong tidur yang biasa kami gunakan, berwarna hitam dan coklat. Gabriel langsung masuk ke dalam kantong tidur hitamnya.

“Papa masih punya janji,” baru selangkah aku menuju kantong tidur coklat ketika Gabriel menagih janjiku untuk membahas pertanyaannya.
“Iya, papa inget kok sayang,” aku berbalik lagi ke arahnya dan duduk di sebelahnya, dekat dengan kepalanya.
“Kenapa papa diam?” katanya mengulangi.
“Ehm, begini sayang,” aku ragu-ragu memulai, khawatir Gabriel belum siap untuk menerima atau memahami jawabanku, “tidak mudah menyatukan dua manusia yang masing-masing mempunyai bermacam-macam keinginan, sifat, keyakinan, kesenangan dan lain-lain lagi.”

“Kenapa mama pergi Pa?”
“Mungkin papa enggak bisa membuatnya bahagia sayang, kita tidak pernah tau apa yang ada di hati orang lain.”
“Papa sayang sama mama gak?”
“Iya, papa sayang sama mama. Papa sayang sama kamu.”
“Mama sayang kita gak Pa?”
“Kalau kamu tanya seperti itu, hanya mama yang berhak menjawabnya sayang.”
“Papa kangen sama mama gak?”
“Eeeeeh.... iya,” jawabku pelan, “tuh matamu dah merah sayang, ayo bobo.”
“Nite nite Pa, I love you!”
“Nite nite sayang, I love you too!”

Kukecup keningnya lalu bergeser menuju kantong tidurku yang berjarak sekitar satu meter dari tempat Gabriel. Beberapa saat di dalam kantong tidur mataku belum terpejam juga, memikirkan apa yang dia tahu tentang sayang, dia baru berumur tujuh tahun sekarang. Dia memang cerdas seperti ibunya, kenapa dia tiba-tiba menanyaiku seperti itu seperti seorang intel menginterogasi seorang tersangka makar. Pikiranku terus berkecamuk memikirkannya, juga ibunya. Sedang apa dia sekarang? Apa dia juga memandangi purnama seperti yang kami lakukan tadi? Seandainya dia melihat purnama malam ini, apa yang dilihat seindah yang kami lihat?

“Pa, aku belum bisa bobo,” Gabriel mengejutkanku, ”papa dongengin aku dong.”
“Tadi kan udah ngantuk banget, masa enggak bisa bobo? Kenapa sayang?”
“Aku kangen dongeng mama.”
“Kamu pengen papa dongeng apa?”
“Apa aja Pa.”

Cepat-cepat aku memikirkan apa yang akan kuceritakan, aku tidak pandai mendongeng, beda sekali dengan ibunya. Akhirnya aku menemukan juga ide cerita tentang kehidupan ganas padang rumput Afrika.

“Eeeeeh... papa ceritain tentang singa dan rusa di padang rumput Afrika ya.”
“Iya,” katanya hampir tak terdengar.
“Suatu ketika di pinggir padang rumput yang masuk dalam wilayah Kenya, hidup seorang bernama Dennis Montgomery. Dokter hewan dan petualang berumur empat puluh tahunan berasal dariInggris, anak tunggal seorang jenderal yang kaya raya. Sudah bertahun-tahun dia hidup seorang diri di sana, ditemani puluhan hewan yang dirawatnya.”

“Kenapa dia hidup sendiri di sana Pa?”
“Dia kecewa dengan peradaban manusia di kota besar yang menurut mayoritas orang sangat modern dan beradab. Menurut Dennis, kehidupan hewan-hewan di alam bebas justru “lebih manusiawi” dibandingkan kehidupan orang kota.”
Gabriel masih mendengarkan, matanya semakin redup.

“Dennis setiap hari mencari hewan-hewan yang terluka kemudian membawa ke rumahnya dan merawatnya hingga menurutnya layak untuk kembali dilepaskan di alam. Di belakang rumahnya ada tempat yang luas berpagar kawat mengelilinginya tempat dia merawat hewan-hewan tersebut. Dia tidak memisahkan hewan yang dirawatnya, hewan pemangsa dan hewan yang biasa dimangsa dijadikan satu tapi anehnya di tempat itu mereka bisa berkumpul bersama tanpa ada yang di mangsa.”
“Kok bisa ya Pa?”
“Mungkin karena di tempat itu mereka sama-sama merasa lemah, “ jawabku asal saja, “mereka punya semboyan sesama pasien dilarang saling memangsa.”
“Lucu juga ya Pa. Emang mereka bahasanya sama ya? Semua hewan bahasanya sama Pa?” saat sudah ngantuk dia masih kritis juga.

“Mereka mempunyai bahasa masing-masing, tetapi mereka semuanya paham dengan bahasa tubuh. Jadi mereka tetap bisa berkomunikasi dengan baik.”
“Terus cerita singa dan rusanya mana?”
“Suatu hari ketika seperti biasa Dennis berkelana di padang rumput mencari hewan-hewan terluka, dia menemukan seekor singa kecil yang terluka ditinggalkan kawanannya di bawah pohon, dan tak jauh dari situ juga ada rusa yang patah kakinya. Singa itu baru berumur enam atau tujuh bulan sedangkan si rusa sudah dewasa. Kemudian Dennis membawanya pulang dengan Land Rover hijau tua yang sudah penyok di sana-sini.”

Aku berhenti sebentar menunggu kalau ada pertanyaan atau komentar dari Gabriel, tetapi dia diam saja.

“Sesampai di rumahnya,” aku melanjutkan, “singa dan rusa itu langsung di bawa ke tempat perawatan. Keduanya langsung di bersihkan dan di obati luka-lukanya, setelah di beri makan mereka di lepaskan di tempat berpagar kawat di belakang rumahnya. Ternyata rusa itu baru melahirkan dan anaknya ketiga anaknya sudah habis dimangsa cheetah, melihat anak Singa itu tidak punya induk, dia mendekati dan mencoba menyusuinya. Anak singa itu menyeringai waspada ketika dihampiri, tetapi setelah memahami rusa itu mau memberikan air susunya, maka dia dengan tenang menyusu pada rusa itu.”
“Hewan-hewan itu gak punya nama ya Pa?”
“Oh iya, papa lupa, Dennis selalu menamai hewan-hewan yang di rawatnya,” aku berpikir nama apa yang bagus untuk kedua hewan itu, “anak singa itu diberi nama Panji, rusanya diberi nama Sedayu.”
“Lho, Dennis orang Inggris kan Pa? Kok nama yang diberikan nama jawa sih?”

Baru terpikir juga olehku, masa orang Inggris menamai hewan dengan nama-nama jawa. Tahu dari mana dia nama-nama Panji dan Sedayu itu.
“Iya, papa belum cerita ya tadi,” aku berpikir keras menjawabnya, “Dennis pernah menjadi sukarelawan di Kebun Raya Purwodadi di Jawa Timur sana sayang.”
“oooh...”

“Papa terusin ceritanya ya?”
“Iya.”
“Kira-kira dua tahun kemudian setelah diajari berburu, Panji dilepaskan lagi di alam. Sementara Sedayu masih belum pulih kakinya, saat berpisah mereka kelihatan sedih. Panji sudah menganggap Sedayu sebagai ibunya sendiri.”
“Apa hewan itu bisa kangen juga ya Pa?”
“Enggak dong sayang. Eh, tapi papa enggak yakin juga sih.”
“Terus gimana ceritanya Pa?”

“Setelah berpisah dengan Panji, Sedayu merasa kesepian meskipun di tempat perawatan itu masih banyak hewan yang lain. Ada yang pergi dan banyak juga yang datang. Satu setengah tahun kemudian, baru Dennis merasa Sedayu telah siap dilepaskan ke alam. Siang itu Sedayu dinaikkan ke mobil Dennis, di bawa ke padang rumput dicarikan kawanan rusa untuk dilepaskan. Setelah dua jam berkeliling di padang rumput, Dennis baru menemukan sekawanan rusa sedang minum di danau yang mulai mengering. Sedayu langsung berbaur dengan kawanan itu begitu dilepaskan, tidak ada yang tahu apa kawanan rusa itu kawanan Sedayu sebelum dirawat Dennis atau bukan.”

“Panji gimana Pa?”
“Panji belum menemukan kawanan juga, dia masih hidup sendirian karena memang tidak mudah untuk masuk menjadi anggota kawanan singa. Singa jantan yang memimpin kawanan biasanya tidak mau menerima singa jantan asing untuk masuk menjadi anggota kawanannya.”

“Yah, kasian ya Pa, Panji sendirian. Tapi dia udah bisa mencari mangsa sendiri ya?”
“Iya, Panji udah pandai berburu. Suatu sore Panji mengendap-endap menunggu kawanan rusa yang beriringan menuju danau untuk minum. Saat itu langit bersih biru tanpa ada awan sama sekali, rumput-rumput coklat kering karena berbulan-bulan tidak pernah turun hujan di sana. Dengan sabar Panji menunggu saat yang tepat untuk menyerang, sementara kawanan rusa itu belum menyadari keberadaan Panji di balik rerumputan kering.”

“Kalo Sedayu ada dalam kawanan itu, apa Panji masih mengenalinya ya?”
“Mungkin aja Panji masih mengenali Sedayu. Pada saat yang tepat, Panji melompat ke arah kawanan rusa yang langsung berlarian lintang pukang menyelamatkan diri masing-masing. Panji mengejar seekor rusa dewasa yang menjadi targetnya. Tidak sampai dua menit rusa itu Panji sudah berhasil merobohkan rusa itu dan menggigit lehernya yang memutuskan urat nadi mangsanya.”

Aku berhenti sebentar minum segelas air putih di sampingku kemudian melanjutkan dongeng itu,
“Beberapa detik setelah memutuskan nadi mangsanya, Panji segera melepaskan gigitannya. Panji baru menyadari bahwa rusa yang baru dilumpuhkannya itu adalah Sedayu. Dengan panik Panji menutup luka di leher Sedayu yang sudah lemas tidak sadar dengan kakinya, tetapi Sedayu sudah tidak tertolong lagi. Panji sangat menyesali kenapa dia tidak mengenali Sedayu yang sudah dianggapnya sebagi ibunya sendiri sejak dari tadi. Saat Panji sedang menyesali kebodohannya itu, dengan cepat lima ekor hyena mendekatinya hendak merebut Sedayu. Biasanya singa yang berburu sendiri akan kehilangan mangsa yang sudah dilumpuhkan karena direbut sekawanan hyena. Panji ingin menebus kesalahannya dengan mempertahankan Sedayu, setelah menggertak kawanan hyena itu Panji segera menyerangnya. Pertarungan pun tak bisa dihindari lagi, Panji melawan lima ekor hyena yang rahangnya mampu meremukkan tengkorak seekor banteng dewasa. Penuh luka dari gigitan-gigitan kawanan hyena itu, Panji masih bisa menerkam dan menggigit leher seekor hyena sementara empat ekor hyena yang lain semakin ganas menyerang punggung dan kaki belakang Panji. Setelah bertarung habis-habisan akhirnya Panji mati, seekor hyena juga mati dan dua ekor hyena yang lain terluka parah.”

Sejenak kulihat Gabriel sudah tertidur, kukecup dahinya. Kulihat jam dinding yang saat itu menunjukkan jam 23:35 kemudian aku keluar kamar pohon dan menuruni empat puluh delapan anak tangga tali.
Purnama masih bersih indah tak berawan, kunyalakan sebatang rokok kemudian telentang di rumput menikmati keindahan purnama malam itu. Pikiranku kembali kepadanya, apa dia menikmati indahnya purnama malam ini?

depok, rabu 15 maret 2006 ; 00:54.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home