Monday, March 20, 2006

dua puluh tiga

“mana lilinnya sayang?”
“bentar pa,” jawab gabriel, “tadi di bu nas cuma ada tiga pa. aku cariin di dapur cuma ada dua, di kamar papa ada lagi nggak?”
“kurang tiga lagi ya, kayanya di kamar mandi papa masih ada dua atau tiga lagi. yang bekas juga enggak apa-apa kok yang penting masih bisa dinyalain.”
Gabriel langsung masuk ke dalam kamarku, mencari lilin yang masih belum lengkap dua puluh tiga.

Setiap tanggal sembilan belas malam kami biasanya makan di restoran, tidak selalu restoran mahal pernah juga hanya di sebuah warung tenda tak jauh dari rumah. Selesai makan malam kami akan menyusun lilin yang kami bawa dari rumah, melingkar kemudian menunggu hingga jam 00:00 tanggal dua puluh dan menyalakannya. Lilin-lilin itu akan menyala selama beberapa saat sesuai dengan jumlah lilin yang ada, satu lilin sama dengan satu menit. Setiap bulan kami menambah satu lilin yang berarti menambah satu menit waktu nyalanya.

Malam ini aku memutuskan untuk merayakan dua puluh yang ke dua puluh tiga di rumah saja, jumlah lilin yang harus kami nyalakan adalah dua puluh tiga dan akan menyala selama dua puluh tiga menit. Sorenya kami sudah membeli ikan pecak kesukaan kami yang sudah kupanaskan beberapa saat sebelumnya. Hanya itu menu kami malam itu, tidak istimewa dan mungkin memang kami juga merayakan sesuatu yang tidak istimewa.

“kurang satu pa, di kamar mandi cuma ada dua, itu jugayang satu udah bekas dinyalain pa.”
“ya udah enggak apa-apa, kita potong aja satu lilin jadi dua biar jumlahnya pas dua puluh tiga. Ayo cepat sayang, udah jam sebelas lewat nih.”

Kami berjalan menuju beranda belakang rumah untuk makan malam. Sebenarnya aku ingin melakukan ritual itu di bawah pohon trembesi di halaman belakang rumah, tapi sejak sore tadi rinai tidak juga berubah jadi hujan ataupuin mereda. Rinai itu tetap seperti itu saja, sebenarnya romantis suasana seperti itu, aku juga merasa romantis malam itu. Atau adakah seseorang yang mengirimkan rinai itu untukku? Ingin menghadirkan sedikit suasana romantis buat kami, aku dan gabriel?

“ayo pa, aku udah siap makan.”
“iya, ayo.” aku langsung duduk di depan gabriel yang sudah duduk lebih dulu.
“selamat makan.”
“selamat makan.”

Beberapa saat kami tidak bersuara menikamati makan malam kami. Kulihat jam di ha-pe sudah menunjukkan jam 23:36.

“kenapa sih pa setiap tanggal sembilan belas malam kita melakukan ini?” tanya gabriel tiba-tiba, sudah menjadi pertanyaan rutin yang diajukannya, dan dia juga sudah hafal jawaban apa yang akan kuberikan.
“kita tidak punya hari untuk dirayakan, jadi apa salahnya kita merayakan tanggal dua puluh?” aku memberikan jawaban rutin itu, “yah, boleh dibilang untuk menghargai hidup ini sayang. Maka kita merayakannya, melakukan ritual ini.”
“kenapa...”
“lihat rinai itu, romantis kan?” aku segera memotongnya sebelum dia menyelesaikan pertanyaannya, karena aku tahu dia akan menyerbu dengan bermacam pertanyaan yang bertubi-tubi dia lontarkan.
“iya.” jawabnya putus asa karena tidak akan pernah mendapat jawaban yang memuaskan tentang apa yang kami rayakan malam itu.

Kami terdiam lagi, aku melihat sedikit kekecewaan di wajahnya. Rinai masih tetap saja seperti awalnya turun sore tadi, aku mengharapkan rinai itu menghujan, melebat bahkan menjadi badai sekalipun akan membuatku lebih senang. Tapi rinai itu tetap rinai, tidak berubah menjadi hujan, tidak juga reda menjadi cerah.

Selesai makan malam jam 23:54 kami langsung menyusun dua puluh tiga lilin itu melingkar. Sambil menunggu tepat jam 00:00 tanggal dua puluh kunyalakan sebatang rokok, kuhisap dalam-dalam dan perlahan kuhembuskan lagi mencemari udara bersih malam itu.

“lima, empat, tiga, dua, satu, nyalakan pa!” gabriel menghitung mundur.

Kunyalakan kedua puluh tiga lilin itu satu per satu, ada beberapa yang agak susah dinyalakan. Kira-kira membutuhkan semenit menyalakan semua lilin itu. Seperti biasa, kami hanya duduk menunggu waktu untuk meniup mematikan kedua puluh tiga lilin itu. Entah apa yang sedang dipikirkan gabriel, sebentar-sebentar dia melihat jam tangannya.

Aku sendiri masih sibuk memikirkan rinai yang seolah dengan setia mengiringi ritual kami malam itu. Bayangan wajahnya berkelebat ringan melayang dalam awang-awang lamunanku. Mungkinkah dia yang mengirimkan rinai ini untukku? Mungkinkah dia masih memikirkanku? Kunyalakan rokok ketiga setelah makan malam tadi. Ah, mana mungkin dia masih sempat memikirkan aku.

“satu menit lagi pa.”
“iya.”

Kumatikan rokok yang masih setengah, menunggu saat untuk meniup mematikan kedua puluh tiga lilin itu. Belum sempat pikiranku mengelana, gabriel sudah mulai lima hitungan mundurnya.

“lima, empat, tiga, dua, satu, tiup pa!”

Setelah meniup sebanyak empat kali akhirnya kedua puluh tiga lilin itu itu mati juga. Rinai masih tetap saja tidak berubah. Gabriel sudah tampak ngantuk sekali, dengan pelan-pelan membereskan kedua puluh tiga lilin itu memasukkan ke dalam kantong plastik, aku membereskan piring-piring bekas makan malam kami.

“nite-nite sayang. Thanx for tonight!”
“congratz pa! Nite nite. i love you!”
“thanx. I love you too!”

Kututup kamarnya pelan tanpa suara. Dia selalu mengucapkan selamat untukku sebelum tidur, bukan saat kutiup lilin-lilin yang selalu bertambah setiap bulan itu. Tidak pernah kutanyakan kenapa dia selalu mengucapkannya sebelum tidur, itu haknya untuk menentukan kapan waktunya memberiku ucapan selamat, haknya juga untuk menentukan memberiku ucapan selamat atau tidak dan aku tidak punya hak untuk memintanya memberiku ucapan selamat.

.........................
Depok, 20 maret 2006; 02:43.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home