Saturday, March 11, 2006

rumah mungil, mimpi kecil

Halaman belakang rumah mungilku cukup luas untuk bermain bola, tertutup rumput yang terpotong rapi terdapat sebuah gawang kecil terbuat dari besi lengkap dengan jaringnya di ujung halaman belakang. Di tengahnya, tidak tepat di tengah-tengah, sebuah pohon trembesi berumur puluhan tahun yang rindang memberikan naungan mengurangi panasnya terik matahari. Ada sebuah ayunan di bawah pohon trembesi itu dan rumah pohon kecil di atasnya dengan tangga terbuat dari tambang menjutai ke bawah, keduanya kubuat sendiri, dan sebuah bangku taman tua -- tanpa meja -- terbuat dari kayu jati tanpa menggunakan paku hadiah dari seorang teman. Sepeda BMX yang masih baru hadiah ulang tahun keenam Gabriel tergeletak begitu saja di dekat ayunan.

Pagi itu cerah sekali, hanya sedikit awan tipis menodai birunya langit. Dona dan Doni, sepasang rottweiler kesayanganku bermain-main di bawah pohon trembesi, berebut sebuah mainan berbentuk tulang dan sesekali saling menggonggong, sementara Brownie, seekor kucing kampung yang hampir tidak terpisahkan dengan Gabriel, tak terganggu tidurnya di atas ayunan. Seorang anak kecil berambut lurus berumur 6 tahun beberapa bulan – dialah Gabriel si buah hatiku -- dengan hati-hati menuruni tangga tali, tadi malam dia tidur di rumah pohon itu, menghampiri kucing kesayangannya dan menggendongnya kemudian langsung berlari kecil menuju dapur.

“Maaaaa, mana susuku?” dia berteriak memanggil ibunya yang sedang menyusui adiknya di ruang keluarga.
“Mama belum sempat membuat susunya Kak, Kakak belajar membuat susu sendiri ya kan udah gede. Sana minta ajarin papa caranya, pasti kakak bisa kok. Papa lagi nyiramin bunga di depan.”
Taman kecil di halaman rumah mungilku sangat terawat di dominasi anggrek dan kantong semar berbagai jenis, beberapa tangkai anggrek berwarna putih dan kuning sedang mekar.
“Masih lama gak Pa? Aku disuruh mama belajar bikin susu Pa, Papa ajarin ya?”
“Iya, bentar ya kak. Papa tinggal nyiramin kantong semarnya, Kakak bantuin papa dong,” Aku ingin dia mencintai tanaman -- bukan hanya tanaman sebenarnya, tetapi alam ini.
“Kakiku sakit Pa,” katanya manja.
“Sakit kenapa Kak? Jatuh dari sepeda ya?”
“Enggak Pa, kemarin main bola sama mas Slamet trus kakiku keinjek Pa. Tapi sekarang udah ga sakit banget Pa.”
“Mana papa liat, luka gak Kak?”
“Enggak” jawab Gabriel sambil mendekat menunjukkan kakinya yang sakit.
“Ooo gak apa-apa kok” Aku berkata sambil menggulung selang air yang sebelumnya kupakai untuk menyirami bunga.

"Kriiiiiing.... kriiiiiing...." terdengar dua kali dering telepon dari dalam rumah.
“Kaaaak.... Telepon dari Eyang Putri, cepet yaa...” ibunya berteriak memanggil memberitahu ada telepon dari neneknya. Gabriel segera berlari masuk rumah dan mengambil gagang telepon dari tangan ibunya.
“Halo Eyaaaaang... apakabar?” sambil terengah-engah dia menyapa neneknya di ujung sana.
“Eyang mau kesini? Kapan?”
“Asssiiiikkkk.... Aku juga kangen sama Eyang! Jangan lupa bawain rambutan ya, yang banyak!”
“Aku juga sayang sama Eyang. Ati-ati ya Yang.”
“Daaaaaaggg.....” setelah menutup telepon, Gabriel langsung berteriak riang menghampiriku dan ibunya. Aku masih serius membaca koran sementara itu ibunya menonton teve, acara gosip yang hampir tidak pernah terlewatkan sambil sesekali berbincang denganku.

“Horeee...! Maaa... Eyang mau kesini!!!” teriak Gabriel, girang sambil melompat ke pangkuan ibunya.
“Kak, jangan teriak-teriak nanti adik kecil bangun. Kapan eyang mau datang?” ibunya dengan perlahan menyahut, mengelus-elus rambut halus anak pertamanya itu.
“Minggu depan Ma.”
“Sama siapa eyang perginya Kak?” Aku bertanya kemudian meletakkan koran yang tadi kubaca.
“Sendiri Pa.”
“Eyang naik apa? Kita jemput eyang ya Kak minggu depan.”
“Iya,” kemudian sambil berlari ke halaman belakang dia berteriak-teriak, “horeee... horeee... horeee...” lupa dengan larangan ibunya agar tidak berteriak-teriak.

“Ibu sayang banget ya Mas sama cucunya,” istriku berkata pelan sambil mendekatiku, “padahal aku dulu takut banget kalo ibu ga akan menerima Gabriel sebagai cucunya.”
“Iya, ibu pasti sayang sama semua cucunya,” jawabku sambil memeluknya dan dengan lembut mengelus lengan putihnya, ”ibu juga sayang sama kamu.”
Dia hanya mengangguk pelan sambil menempelkan kepalanya di pundakku. Kami terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, terharu. Kukecup keningnya sambil mengelus rambut tebalnya.
I love you...” bisikku pelan di telinganya.


<< -*-*- >>

“Woiii To, bangun!”
Seseorang menggoncang-goncang kakiku, punggungku terasa dingin sekali seperti menempel di bongkahan es beku, kaku.
“Beto lo, ngapain tidur di sini?” kata temanku yang belum kusadari siapa, “ayo pulang!”
“Jam berapa sekarang?” gumamku, mataku masih terpejam.
“Dah jam tiga betooo!”
Sementara itu samar-samar kudengar lantunan lagu dari Overload Romance, entah dari teve atau darimana sumbernya aku tidak begitu yakin, yang aku ingat liriknya, “semua ini hanya mimpiku, semua ini hanya tentangmu...” kalau tidak salah judulnya Hanya tentangmu.

Siangnya baru kusadari kalau tadi malam kebanyakan minum dan tertidur di toilet salah satu pusat perbelanjaan itu, untungnya masih ada temanku sadar. Aku tidak tahu pasti berapa lama tertidur di toilet itu, tapi saat itulah aku menemukan Gabriel kecilku entah dalam mimpi atau ilusi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home