Friday, March 17, 2006

sisa purnama

22:31

Berjalan di tepi Margonda yang sudah mulai lengang, ada seorang wanita berkaos putih sedang menunggu angkutan, mendekap tas di dadanya mungkin takut melihat kedatanganku. Aku mendongak ke atas, masih tersisa keindahan purnama malam sebelumnya, wanita itu ikut mendongak sekejap mungkin penasaran apa yang sedang kupandang.

Bulan itu berada tepat di perbatasan antara langit bersih di utara dan awan tebal di selatannya, awan itu tidak membentuk garis lurus, tapi melengkung cekung ke arah bulan. Menyuguhkan komposisi indah seperti panorama pantai, senggigi atau pantai indah lainnya, langit biru seperti pantai dan lautan lepas menjadi samudra sedangkan awan seperti pasir pantai putih halus dan daratan menjadi sekedar pulau kecil, atau juga benua. Ada rongga diantara awan itu, menjulur memanjang seperti aliran sungai yang bermuara di pantai itu.

Tidak terlihat kehidupan di atas sana, memang cuma beberapa saat aku mendongak menikmatinya sambil berjalan. Mungkin Gabriel sedang bermain di pasir pantai halus putih menghampar itu, atau mungkin juga memancing di tepi sungai itu. Aku tidak bisa melihatnya.

22:33

Aku masuk ke sebuah warnet, tampak dari beberapa orang sedang menatap monitor, ada yang berdua menatap satu monitor sambil tertawa-tawa entah apa yang ditampilkan layar monitor itu. Meja penjaga tampak kosong, kulihat seorang lelaki berjenggot tertidur di kursi yang seharusnya untuk pelanggan, bukan untuk penjaga. Tapi aku hampir yakin dia adalah penjaga warnet itu.
“Mas. Mas! Mas!!” aku mencoba membangunkannya.

Tapi dia tampak pulas seklai tidurnya, hingga tak tega lagi membangunkannya, mungkin dia sedang mimpi indah dalam pelukan kekasihnya, atau sekedar melepas lelah di tepi pantai memandangi ombak bergulung yang selalu pecah berakhir dengan buih-buih putih berbusa, tak jarang gulungan ombak itu pecah sebelum menghempas pasir putih di tepi pantai, bahkan terkadang pecah ketika masih jauh di tengah.

Langsung saja aku keluar dan memandang langit yang masih indah sambil berjalan menuju warnet yang lain.

22:36

Masuk ke warnet dengan pintu geser, kemudian kulepas alas kaki karena memang harus dilepas dan kutaruh di tempat yang disediakan. Hanya ada seorang pelanggan yang ada di warnet itu, seorang wanita berkacamata.
“Internet mas.”
Penjaga itu hanya menunjukkan tempat yang bisa kupakai tanpa menjawab dengan kata-kata meskipun sama mudahnya untuk memahami maksudnya, dengan atau tanpa kata-kata. Aku sendiri sebenarnya juga sedang malas bicara karena tenggorokanku sepertinya masih meradang, sudah beberapa hari ini aku sakit batuk pilek.

Langsung log on dan memasang flashdisk di USB port yang ada, sign in ke yahoomail dan blogspot. Setelah beberapa hari tidak online, banyak banget imel di inbox, 259 unread e-mail meskipun aku yakin tidak ada satu pun imel yang penting untuk dibaca kubuka juga inbox yang kebanyakan langsung dihapus sebelum dibaca.

Upload “dongeng untuk gabriel” sambil menghapus imel, juga sign in ke yahoo messenger, siapa tau ada yang mencariku mungkin ada beberapa offline message untukku.

“betoloto” hanya itu pesan offline dari seorang kawan, lupa melihat kapan dia mengirimnya, aku tidak membalasnya dan langsung menutup offline message kemudian sign out.

Selesai upload ”dongeng untuk gabriel”, mampir ke blog beberapa kawan. Nulis pesan di shout box seorang kawan blogger yang sepertinya sedang gundah dengan pesan-pesan berantai, mengomentarinya dengan gurauan.

23:04

“Mas sudah mau tutup,” kata penjaga mengejutkan.
“Oh iya, sebentar mas.”
“Soalnya servernya lagi dibenerin mas,” jawabnya menjelaskan.
Langsung mencabut flashdisk dan sign out, setelah membayar langsung aku keluar.

Mampir di kaki lima dekat warnet,
“Mas, lucky strike.”
Pedagang kaki lima itu langsung mencari rokok di dalam, kemudian menyodorkan sebungkus lucky strike lights kepadaku.
“Yang merah mas.”
Dia langsung menarik tangannya dan masuk lagi mencari rokok yang kucari.
“Sama dji sam soe deh mas.”
Dia menyodorkan sebungkus lucky strike filters,
“Sama apa mas?” rupanya dia tadi tidak mendengar dengan jelas.
“Djie sam soe.”
Cepat dia mengambilnya dan langsung menyodorkan padaku, aku langsung memberinya selembar lima puluh ribuan.

Sambil menunggu kembalian, kunyalakan sebatang dji sam soe kemudian dia memberikan uang kembalian, selembar dua puluhan ribu,selembar puluhan ribu dan tiga lembar ribuan.

“Bangsat,” aku mengumpat dalam hati, “mahal amat dia jualnya biasanya aku beli sebungkus paling mahal delapan ribuan.”

Sambil berjalan pulang baru kupahami, mungkin karena sudah malam dia perlu tambahan keuntungan untuk membeli secangkir kopi. Langit masih tampak indah, bulan belum berpindah jauh dari tempatnya yang tadi. Dan aku juga masih belum bisa melihat Gabriel. Papa kehabisan tiket untuk menemuimu malam ini sayang...

........................................................
Depok, kamis 16 maret 2006; 00:27.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home