Thursday, April 20, 2006

dua puluh empat

Aku heran ketika pulang, hanya lampu di halaman yang menyala. Lampu-lampu di dalam rumah mati. Gelap. Ah, mungkin Gabriel sudah tidur, aku memang pulang larut malam karena tadi dari kantor langsung makan malam bersama seorang teman. Kepalaku agak pusing, mungkin kecapaian atau kurang tidur.
Dengan pelan kubuka pintu depan takut membangunkan Gabriel yang mungkin sudah tidur di sofa. Biasanya dia menunggu aku pulang hingga tertidur di ruang teve. Kunyalakan lampu depan.
“Kok malam banget pa pulangnya?” tanya Gabriel mengagetkan aku.
“Lho kirain udah tidur, kok kamu belum tidur?” aku balik bertanya.
“Iya, aku nungguin papa.”
“Papa tadi makan malam dulu.”
“Aku sudah siapin lilinnya pa, ayo cepat udah hampir jam dua belas lho. Aku tadi pesan pizza, papa masih mau makan nggak?”
“Emang kamu belum makan?”
“Belum. Kan aku nungguin papa.”
“Emang kamu nggak kelaparan? Kenapa nungguin papa?”
“Hayo, papa lupa ya?”
“Lupa apa? Emang papa janji makan bareng ya?”
”Kan hari ini tanggal sembilan belas.”
“Oh iya, papa nggak lupa kok. Mana bisa lupa...”
Kenapa Gabriel selalu ingat ya kalau tanggal sembilan belas, pikirku dalam hati.
“Ya udah, ayo cepat pa.”
“Kamu udah siapin lilinnya?” tanyaku sambil berjalan ke ruang makan.
“Iya, udah aku atur di meja makan pa.”
“Wah, kamu masih ingat juga berapa lilin yang harus kita nyalakan hari ini. Hebat!” setelah kuhitung lilin yang dia tata di atas meja makan, ada dua puluh empat.
Gabriel langsung duduk, dan membuka bungkus pizza. Aku mengambilkannya satu potong, dan mengambil untukku satu potong meskipun aku masih kenyang. Kulihat jam yang menunjukkan pukul 23:55.
“Pa, kita makan sepotong dulu aja ya. Nanti setelah upacara nyalain lilin kita makan lagi.”
“Iya, udah hampir jam dua belas.”
Lalu aku menyalakan lilin satu per satu, tepat jam 00.00 sesuai dengan jam di rumah. Seperti ritual yang biasa kami lakukan, setelah lilin nyala semua, kami hanya menikmati kesunyian tanpa sepatah kata. Dan tetap akan sunyi hingga dua puluh empat menit kemudian, karena satu lilin berarti satu menit.
“Sebentar lagi pa” kata Gabriel membangunkan aku yang sempat tertidur, entah berapa lama.
“Lima, empat, tiga, dua, tiup pa!”
Kemudian kutiup semua lilin, lebih dari tiga kali aku meniup untuk mematikan semua semua lilin. Gabriel langsung berjalan ke arah saklar lampu ruang makan dan menyalakan lampu. Terang yang tiba-tiba itu agak menyilaukan mataku.
“Ayo kita makan lagi pa” katanya sambil mengambil sepotong pizza lagi, tampaknya dia benar-benar lapar.
“Papa udah kenyang, kamu habisin aja” jawabku sambil mengisi gelasku dengan air putih dingin.
“Pa, aku mau ngirimin buku buat mama. Tolong besok dipaketin ya pa?”
“Buku apa?”
“Ada deh...”
“Iya, besok papa kirimin. Papa nitip surat di dalamnya ya? Belum kamu bungkus kan bukunya?”
“Belum. Tadi aku nyari kertas kado warna hitam di toko buku nggak ada pa. Besok papa tolong beliin kertas kado dulu ya, yang warna hitam polos.”
“Emang ada kertas kado hitam polos?”
“Ada, tadi kata mbaknya yang hitam polos habis, berarti kan ada di toko lain pa.”
“Iya, besok papa cariin, tapi kalo tetap nggak dapat pakai warna lain aja ya?”
“Nggak mau! Pokoknya harus dapat yang hitam polos!” dia tetap ngotot harus pakai kertas kado hitam polos, aku tidak tahu alasannya kenapa harus pakai kertas kado hitam polos, tapi memang dia suka warna hitam sama denganku. Bahkan dia minta dinding kamarnya dicat hitam.
Setelah Gabriel selesai makan kami langsung menuju ke kamar tidur. Malam ini dia tidur di kamarku. Aku mencuci muka dulu sebelum tidur, Gabriel langsung menuju tempat tidur. Kulihat dia sudah tertidur ketika aku keluar dari kamar mandi dan aku segera tidur di sampingya setelah menyelimutinya.
Sampai lima belas menit ternyata aku belum bisa tidur juga. Kemudian aku menulis surat, sebnearnya bukan surat karena aku hanya menulis pesan pendek, mungkin lebih tepat disebut memo, yang akan kukirim bersama buku Gabriel. Kulihat buku baru dengan sampul didominasi warna hitam, “veronika memutuskan mati” judulnya. Oh, rupanya dia mau mengirimkan buku itu. Kenapa dia memilih buku itu, aku tidak bisa menebak alasannya, besok aku harus tanya Gabriel untuk mengetahui alasannya. Tak lama setelah menulis memo aku langsung tidur.
Paginya, sebelum berangkat kerja kubangunkan Gabriel hanya untuk menanyakan alasan kenapa dia memilih “veronika memutuskan mati”.
“Ini buku yang mau dikirim ke mama?” tanyaku sambil mengacungkan buku itu.
“Iya pa” katanya sambil memicingkan matanya yang masih tampak lengket.
“Kenapa kamu memilih buku ini?”
“Aku suka melihat sampulnya pa. Hitam.”
“Ooo hanya karena sampulnya hitam” kataku sambil tersenyum.
“Ya udah kalo gitu, kamu bobo lagi aja. Papa berangkat ya.”
“Iya pa, jangan lupa kertas kadonya harus hitam polos.”
“Iya.”
“Makasih pa.”
Selama di perjalanan menuju ke kantor, aku masih tidak bisa bisa menahan tawa setelah tahu alasan Gabriel memilih “veronika memutuskan mati” untuk dikirim ke ibunya. Dan aku juga khawatir di toko buku dekat kantorku tidak ada kertas kado hitam polos. Aneh-aneh saja dia, kenapauntuk bungkus buku saja dia ingin yang warna hitam, toh nanti ketika dibuka juga rusak bungkusnya dan dibuang.
Jam makan siang aku pergi ke toko buku, mencari kertas kado hitam polos. Begitu masuk ke toko buku, aku langsung menuju tempat kertas kado. Kebanyakan kertas kado yang ada warna pink dan biru muda, keperhatikan tidak ada yang hitam polos. Setelah yakin tidak ada yang hitam polos, aku memanggil seorang pramuniaga yang tengah asyik ngobrol dan menanyakan kertas kado hitam polos. Dia menunjukkan di tempatnya, aku mengikutinya. Oh, ternyata ada kertas kado hitam polos, ada beberapa jenis dan aku memilih salah satu.
Sesampai di kantor, aku mengetik tujuan pengiriman dan mencetaknya di kertas label berperekat. Setelah membungkus buku, aku telah menyelipkan memo yang kutulis semalam ke dalam buku, dan menempelkan label alamat pengiriman aku meminta tolong kepada seorang office boy untuk mengirimkannya.
Aku tidak tahu apa dia akan membaca buku yang dikirim Gabriel untuknya. Mungkin dia terlalu sibuk untuk membacanya, meskipun aku tahu dia suka membaca. Ah, yang penting aku sudah mengirimkan sesuai dengan keinginan Gabriel.

.............................
Depok, Kamis 20 April 2006; 01:57.

2 Comments:

Anonymous Anonymous said...

fhuuuiihh... capek!
panjang ooiii....

11:52 AM  
Blogger dewgf said...

si gabriel baca veronica?

12:12 PM  

Post a Comment

<< Home