Tuesday, February 28, 2006

Dalam Selubung Kabut Rinjani 2

Tujuh malam di Rinjani, terperangkap kabut, dan hampir diselamatkan tim SAR. Bersama tiga teman kuliahnya sesama pencinta alam, wartawan Tempo Adek Media Roza mendaki Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, akhir tahun silam (yg bener akhir januari 2006. red). Dari rencana pendakian lima hari, rombongan terpaksa menghabiskan waktu tujuh malam delapan hari karena kabut dan angin kencang. Sempat berpencar, hampir jatuh ke danau, dan kehabisan bekal makanan, rombongan akhirnya berhasil turun, tepat pada saat bala bantuan SAR akan didatangkan. Tulisan ini yang terakhir dari dua artikel bersambung.


(kabut mulai merayap menuju danau segara anak)


Pagi hari kelima, seperti biasa, saya terjaga lebih dulu. Cuaca cerah dan langit biru membuat saya ingin segera keluar tenda. Hanya beberapa meter di depan tenda, ada sungai yang mengalirkan air dari puncak bukit. Ah, segarnya mencuci muka di pagi hari. Kami kemudian duduk di luar tenda, menikmati pemandangan yang indah meski Danau Segara Anak tidak terlihat dari posisi kami karena terhalang bukit lain.

Jalan setapak menuju danau terlihat jelas dari tempat kami bermalam. Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar teriakan yang beberapa hari terakhir saya kenal. Di ujung jalan setapak, di sebuah punggung bukit, terlihat sebuah titik hitam bergerak. Ternyata titik hitam itu adalah Ung, yang berniat menyusul kami. Kami balas berteriak. Kemudian Ung kembali ke danau. Enggan rasanya menyusul teman-teman ke danau.


Agak lama, kami baru berbenah, membongkar tenda, dan mengepak barang masing-masing. Kali ini, jalan yang kami lalui landai sehingga kami bisa berjalan santai. Tapi beberapa kali kami kesulitan karena harus menyeberangi air terjun. Saya sempat harus melepas tas karena meniti bebatuan curam di sekitar air terjun. Kurang dari satu jam lagi, kami akan sampai di danau.

Bukan main senangnya saat kami sampai di danau. Boy langsung memeluk kami. Ternyata ia memikirkan kami semalaman karena kami berjanji turun sore kemarin. Tanpa banyak bicara lagi, kami langsung disuguhi ikan bakar sebesar kaki. Ada tiga ikan bakar yang masih panas. Ternyata ikan-ikan itu ditangkap dengan mudah dari danau, tepatnya pada aliran sungai buangan dari danau. "Gampang kok menangkapnya. Airnya jernih dan ikannya terlihat jelas," kata Boy.

Saya dan Basuki langsung ke danau. Saya melihat gerombolan ikan berenang lamban. Di air dengan kedalaman sepaha itu, Boy dengan mudah menangkapi ikan. Bahkan beberapa kali ia melepas hasil tangkapannya karena kurang besar. Saya pun ikut turun ke air. Ah, ternyata ikan-ikan di sungai begitu jinak. Kaki saya kerap ditabrak ikan. Namun, saya tidak berhasil menangkap ikan. Meski sudah saya pegang, ikan-ikan itu begitu licin dan akhirnya lepas.

Putus asa, saya menggunakan potongan kayu untuk memukul ikan. Kali ini saya berhasil meski bukan ikan besar yang saya tangkap. Empat ekor ikan berhasil saya pukul dengan tongkat kayu. Lumayan untuk digoreng.

(nelayan gunung mencari ikan, aliran sungai dan pinggiran danau dipenuhi ranting-ranting yang terbawa banjir masuk ke danau)

Dari siang hingga sore kami habiskan waktu dengan menangkap ikan dan makan ikan bakar dan goreng. Telur ikan menjadi rebutan di antara kami. Saat kami makan, terlihat anjing hutan memperhatikan. Demikian pula beberapa ekor monyet yang turun dari pohon pinus.

(gunung baru diselubungi kabut tipis)

(nelayan-nelayan gunung dengan tangkapannya) (trio nelayanbeto)

Menjelang malam di danau, kabut mulai turun. Angin kencang mulai menggetarkan tenda kami. Memandang ke danau membuat bulu kuduk saya bergidik. Sepi, gelap, dan terkesan angker. Sementara itu, Ung sibuk mengasapi ikan-ikannya yang kini berjumlah tujuh ekor. Saya dan teman-teman kembali main domino. Kali ini tidak ada sesi khusus makan malam karena kami sudah kekenyangan makan ikan dari siang hingga sore hari.

(gunung baru)

Hampir Jatuh ke Danau

Sibuk dan khawatir, itulah yang mengganggu Basuki dan Boy. Sudah enam hari kami di gunung. Kedua teman saya ini memang harus kembali ke kantornya masing-masing pada 1 Februari. Saya sendiri lebih santai karena masih cuti hingga akhir pekan. Sebenarnya Boy mengajak kami turun kemarin, tapi saya menolak karena sangat lelah. Toh, hari ini kami memang harus pulang karena persediaan makanan yang kami siapkan memang hanya untuk lima hari dari rencana pendakian empat hari.

(devi, satu-satunya nelayan gunung cewek dengan ikan tangkapannya)

(ikan-ikan tangkapan sedang dibersihkan oleh ung)

Setelah sarapan dengan menu spageti, kami berbenah membongkar tenda. Pagi hari hujan gerimis masih mendera, tapi pukul 09.00 udara kembali cerah. Sebelum berangkat, saya menyempatkan diri mandi. Malas rasanya saya menuju ke air panas karena harus menuruni bebatuan. Saya pun langsung mandi di aliran sungai danau. Terik matahari mengurangi sengatan dingin air. Di pondok, saya melihat Basuki masih sibuk membakar ikan. Ia baru saja menangkap beberapa ekor ikan. "Untuk di jalan," katanya.

(ikan dijemur sebelum diasap, foto yang terakhir gw ambil di rinjani)

Satu jam kemudian, kami berangkat. Menuju Senaru, kami harus menyusuri sebagian tepi danau. Karena air tinggi, jalan setapak di tepi danau tidak terlihat lagi. Bahkan, kami harus memanjat tebing karena enggan berenang sambil membawa tas yang berat. Jalan yang seharusnya bisa ditempuh 15 menit harus kami lalui selama satu setengah jam. Saya sempat hampir jatuh ke danau karena batu yang menjadi pegangan saya di tebing tiba-tiba copot. Kesal juga harus merayapi tebing. "Gila, gue cuma bisa mendaki gunung, bukan manjat tebing," pikir saya.

Sesampai di seberang danau, kami melintasi longsoran bebatuan, lalu kembali ke jalan setapak. Lagi-lagi kami harus mendaki dan mendaki. Danau Segara Anak memang dikelilingi bukit sehingga untuk pulang harus kembali menaiki bukit. Kali ini, kami mendaki Bukit Pelawangan Senaru. Ternyata, jalur pendakian ini tak lebih nyaman dari sebelumnya. Banyak jalan setapak yang longsor sehingga hanya tersisa kurang dari setengah meter, bahkan ada yang terputus sama sekali.

Kali ini, terpaksa kami memanjat batu dan saling melepas tas untuk mengurangi beban saat bergelantungan di batu. Sayup-sayup saya mendengar teriakan Boy, mungkin berjarak setengah jam di hadapan saya. Itulah terakhir kali saya mendengar suara Boy di Rinjani. Setelah itu, kami terpisah dua hari lamanya.

Hujan deras dan kabut menerpa kami sepanjang jalan. Awalnya saya enggan memakai jas hujan karena saya pikir hanya hujan sesaat. Tapi hujan tidak berhenti dan hawa dingin mulai mengalahkan panas tubuh saya. Apa boleh buat, hujan bukan lawan saya. Saya akhirnya memakai jas hujan. Setelah hampir lima jam berjalan, sekitar pukul 16.00, kami sampai di puncak Pelawangan Senaru. Puncak yang berupa cadas gundul tanpa tanaman. Di puncak ini kabut semakin tebal. Kami tidak bisa melihat jalan karena jalurnya berada di hamparan batu cadas dan tidak ada penunjuk arah.

Hampir 15 menit kami mencari jalan hingga kami putus asa dan mencari lokasi tepat membuka tenda. Kabut semakin tebal sehingga saya dan Basuki beberapa kali tidak bisa melihat satu sama lain. Jarak pandang tak lebih dari lima meter. Rencana turun hari ini batal. Saya dan Basuki harus menginap semalam lagi, berharap esok kabut pergi.

Saya dan Basuki memeriksa logistik yang tersisa: tujuh ekor ikan asap, enam potong agar-agar, empat kantong kopi, empat bungkus agar-agar mentah, dan sebungkus cokelat butir, serta minus air. Untunglah hujan turun sehingga saya bisa menampung airnya untuk diminum. Tapi hujan ini pula yang membuat kami kebingungan karena tenda saya menjadi kolam dan kami pun terpaksa menimba air dari dalam tenda. Sesekali Basuki mengepel tenda dengan baju yang ia pakai tadi.

Malam itu, kami tidak bisa tidur karena hujan sangat deras. Tenda basah. Kantong tidur Basuki juga basah dan tidak bisa dipakai. Tinggal kantong tidur saya yang kami jadikan selimut buat berdua. Menjelang dini hari, hujan berganti gerimis. Kami menyantap agar-agar danlangsung tidur. Dari kejauhan, terdengar deru angin.

Teror Kabut

Pagi ketujuh. Inilah hari yang paling membosankan sepanjang pendakian yang pernah saya lewati. Sejak pagi hingga sore hari, saya dan Basuki hanya berada di dalam tenda, menanti kabut pergi. Basuki menghidupkan telepon genggam, menulis pesan, dan berlari ke tiga puncak cadas tertinggi untuk mendapatkan sinyal tapi sia-sia. Yang didapat hanya rasa dingin yang menusuk karena gerimis belum juga reda. Jam demi jam kami lalui dalam gelapnya kabut. Dalam keputusasaan, saya dan Basuki hanya memandang pesan singkat di layar ponsel yang tidak dapat dikirim. Isinya meminta seorang penunjuk jalan untuk menuntun kami turun.

Untuk sarapan pagi itu, saya sempat membuat kopi. Siangnya, Basuki membuat api dengan kayu untuk membakar ikan. Celaka betul, kayu-kayu itu basah diguyur hujan. Gila, kami perlu waktu berjam-jam untuk mendapatkan api. Beruntung saya menemukan sebotol minyak tanah yang ditinggalkan pendaki lainnya. Ikan asap kami buka dan seekor ikan kami bakar. Meski tidak bergaram--karena bumbu masak kami tinggalkan di danau--lumayanlah untuk pengganjal perut. Tak kurang dari 15 meter di depan tenda kami, berdiri salah satu puncak cadas bukit. Tapi tebalnya kabut menutupi cadas itu.

Duh Tuhan, apalagi yang bisa kami lakukan kecuali bermalam lagi dan berharap esok cerah. Nekat mencari jalan di tengah kabut tebal sama saja bunuh diri. Bisa-bisa malah kesasar lebih jauh. Apalagi ada beberapa cabang jalan yang tidak jelas arahnya. Sesekali ada harapan udara cerah, saat matahari muncul. Tapi matahari yang muncul bak bulan sabit tak bisa menembus tebalnya kabut. Selang beberapa menit kemudian, kabut semakin tebal.

Hari yang terasa sangat panjang itu kami lalui dengan bermain kartu domino dan berbagi cerita. Kami berharap ada pendaki lain melintas sehingga menjadi penunjuk jalan. Suara langkah kaki yang saya kira pendaki lain ternyata hanya anjing hutan yang sibuk mengamati kami. Sambil mengisi waktu, saya kembali mengepel tenda serta mengatur letak peralatan dan barang-barang kami.

Pukul 19.00, hujan gerimis masih turun. Persediaan air kami sudah lebih dari cukup. Kami pun tidur. Malam terasa sangat panjang. Dalam selubung kekhawatiran, setiap jam kami terjaga, berharap hari sudah pagi. Seribu satu kegalauan menyelimuti hati saya. Terbayang orang-orang tercinta di Jakarta. Juga teman-teman di Mataram yang mungkin menunggu kabar dari kami. Dengan pikiran galau dan lelah, akhirnya saya bisa memejamkan mata.

Turun Gunung Bak Selebritas

Hari kedelapan. Pagi yang dinanti itu datang jua. Pukul 06.00, saya mengintip keluar tenda. "Ah, gelap." Saya berharap sebelum pukul 12.00 hari akan cerah. Tapi kabut enggan pergi. Padahal angin kencang bertiup menerpa tenda kami, tapi kabut tetap bertahan. Segelas kopi tak bisa menghilangkan lapar.

Basuki kembali membakar ikan. Kali ini, ikan--yang memang kurang sempurna pengasapannya--mulai membusuk. Apa boleh buat, perut lapar tidak bisa menunggu. Memakan butiran cokelat pun tidak mengurangi lapar, hanya membuat enek. Ikan bakar yang mulai busuk itu menjadi santapan makan siang kami. Alamak! Saya hanya bisa makan sedikit karena tidak tahan bau busuknya.

Dalam keadaan lapar itu, terlintas dalam pikiran saya tikus-tikus hutan yang berseliweran di dekat tenda kami tadi malam. Jika harus bermalam lagi, saya bertekad akan menyantap tikus itu. "Daripada makan bakso tikus di Jakarta," kata saya dalam hati.

Menjelang pukul 13.00, apa yang kami nantikan datang juga. Kabut tersapu angin, langit biru, dan matahari menyengat. Semua peralatan dan pakaian yang basah saya keluarkan untuk dijemur. Saya lantas berlari ke salah satu puncak cadas untuk melihat jalur pendakian. Dari kejauhan, meski jalur pendakian berada di atas cadas, saya dapat melihat dengan jelas karena terlihat lebih mengkilap terpantul cahaya matahari. Saya langsung berlari mengikuti jalur dan mendapati sebuah patok bertulisan 7,5 kilometer.

Bukan main senangnya. Saya langsung mengabari Basuki. Saat saya kembali ke tenda, kabut tebal kembali turun. Tidak ada lagi langit biru dan cahaya matahari. Kami pun bimbang memutuskan, apakah akan kembali bermalam atau nekat meneruskan perjalanan. Tapi Basuki meyakinkan saya, "Kalau sudah ketemu patok, kita pasti bisa ketemu jalan sampai hutan," katanya.

Pukul 14.00, kami angkat kaki. Cadas yang gelap membuat saya gamang menentukan jalan. Saya pun kesulitan mencari patok yang tadi saya temukan karena jarak pandang kembali kurang dari lima meter. Akhirnya, patok itu saya temukan. Tapi patok bukanlah penunjuk jalan. Cadas yang luas membuat saya dan Basuki kembali kesulitan menemukan jalur turun.

Kalau sudah begini, coretan cat di batu dan sampah bekas pendaki menjadi penunjuk jalan. Untunglah kami menemukan coretan-coretan dan bungkus permen atau puntung yang terserak. Kami berhasil mencapai pos peristirahatan sebelum cadas. Lega rasanya dalam hitungan beberapa jam lagi kami bisa sampai di kaki gunung.

Rasa lapar pun hilang. Kami memasuki hutan dengan jalur pendakian yang jelas. Tidak peduli kabut tebal dan hujan deras, kami terus ngebut menuruni bukit. Pukul 17.30, kami sampai di gerbang taman nasional, Desa Senaru. Setengah jam perjalanan dari gerbang, kami mendapati pos pendaftaran Senaru. Di samping pos berdiri deretan rumah khas Sasak, di kawasan desa tradisional. Alhamdulillah! Kami kembali ke peradaban, melihat sepeda motor dan mobil melintas setelah tujuh malam di gunung. Malam harinya, pukul 21.00, kami kembali ke Cakranegara, rumah pak Made.

Pak Made dan teman-teman kami begitu senang melihat kedatangan kami. Kami disambut gembira bak selebritas. Andai saja kami belum turun dan tidak memberi kabar malam itu, paginya mereka dan tim SAR akan mencari kami di puncak. Tidak terbayangkan saya dan Basuki akan jadi terkenal gara-gara terkurung kabut Rinjani. ADEK MEDIA ROZA


..............

koran tempo, minggu 26 februari 2006

http://korantempo.com/korantempo/2006/02/26/Perjalanan/

Tuesday, February 21, 2006

artikel SBY

Friday, February 10, 2006.
Let's try to get beyond caricatures
Susilo Bambang Yudhoyono

JAKARTA The distasteful cartoons of the Prophet Muhammad, first
published in Denmark in September 2005 and subsequently reproduced in
other media, continue to spark a chain of reactions ranging from
peaceful protest to violence in many Muslim communities.

The international community must work together to put out this fire. A
good start would be to stop justifying the cartoons as "freedom of the
press," which only hardens the Muslim community's response. Another
vital step would be to discontinue their reproduction, which only
prolongs the outrage.

To non-Muslims, the image of the Prophet Muhammad may only be of casual
interest. But to Muslim communities worldwide, it is of enormous
spiritual importance. For the last 14 centuries, Muslims have adhered to
a strict code that prohibits any visual portrait of the Prophet. When
this code was violated and their Prophet mocked for the purpose of
humor, Muslims felt a direct assault on their faith.

Reprinting the cartoons in order to make a point about free speech is an
act of senseless brinkmanship. It is also a disservice to democracy. It
sends a conflicting message to the Muslim community: that in a
democracy, it is permissible to offend Islam.

This message damages efforts to prove that democracy and Islam go
together. The average Muslim who prays five times a day needs to be
convinced that the democracy he is embracing, and is expected to defend,
also protects and respects Islam's sacred symbols. Otherwise, democracy
will not be of much interest to him.

The cartoon crisis serves as a reminder that all hell may break loose in
a world of intolerance and ignorance.

The global community needs to cultivate democracies of freedom and
tolerance - not democracies of freedom versus tolerance. It is tolerance
that protects freedom, harnesses diversity, strengthens peace and
delivers progress.

Since the Sept. 11 terror attacks, many in the Western world have shown
increasing interest in the Islamic world. Yet this interest has not been
accompanied by a greater knowledge and understanding of Islam. In
December last year, the summit of the Organization of the Islamic
Conference in Mecca lamented "the feelings of stigmatization and concern
over the growing phenomenon of Islamophobia around the world as a form
of racism and discrimination."

The West and Islam need not collide in a clash of civilizations. Many
Islamic communities comfortably embrace some Western habits.
Correspondingly, Islam has become the fastest-growing religion in some
Western nations, including the United States. The Western and Islamic
worlds can conscientiously work together to nurture a global culture of
respect and tolerance.

The international community must not come out of the cartoon crisis
broken and divided. We need to build more bridges between religions,
civilizations and cultures. Government leaders, religious figures and
ordinary citizens can go beyond supporting religious freedom - they can
express solidarity with those who are defending the integrity of their
faith.

We also need to intensify interfaith dialogue so that we may further
tear down the walls of misunderstanding and mistrust - an undertaking
that Indonesia has actively promoted.

Muslims around the world also have responsibilities. No one - certainly
not Muslims - will be better off if the current crisis descends into
open conflict and more bloodshed. The best way for Muslims to fight
intolerance and ignorance toward Islam is by tirelessly reaching out to
non-Muslims and projecting Islam as a peaceful religion. We also need to
be forgiving to those who have sincerely apologized for offending Islam.

Indeed, at this difficult moment, Muslims might emulate the Prophet
Muhammad's well-known qualities in dealing with adversity: composure,
sound judgment, magnanimity and benevolence.

(Susilo Bambang Yudhoyono is the president of Indonesia.)

http://www.iht.com/articles/2006/02/...nion/edsby.php

.....................
copy paste dr sebuah imel, katanya artikel SBY ini dimuat di International Herald Tribune.
SIAP pak!!! yg kita butuhkan adalah kedamaian...

Monday, February 20, 2006

Dalam Selubung Kabut Rinjani

Bersama tiga teman kuliahnya sesama pencinta alam, wartawan Tempo Adek Media Roza mendaki Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat, akhir tahun silam (yang bener akhir januari 2006 red). Dari rencana pendakian lima hari, rombongan terpaksa menghabiskan waktu tujuh malam delapan hari karena kabut dan angin kencang. Sempat berpencar, hampir jatuh ke danau, dan kehabisan bekal makanan, rombongan akhirnya berhasil turun, tepat pada saat bala bantuan SAR akan didatangkan. Catatan perjalanan Adek kami turunkan dalam dua tulisan bersambung di rubrik ini.
Rinjani, Kami Datang!
Berniat menghabiskan cuti tahunan dengan aktivitas yang agak "berbeda", saya memutuskan menerima ajakan sejumlah teman semasa kuliah untuk naik gunung. Rinjani menjadi pilihan kami. Kebetulan saya belum pernah menjamah gunung terkenal yang satu ini.
Meski sang kekasih awalnya tidak suka saya berangkat dengan alasan musim hujan dan cuaca buruk, saya memutuskan tetap berangkat. Pikir saya, "Maaf sayang, ke Rinjani belum tentu bisa setahun sekali." Akhirnya saya, Basuki, Devi, Boy, dan dua teman lain berangkat ke Lombok.
Basuki, teman saya yang pernah naik Rinjani pada 2001, mengajak menginap di rumah Pak Made di Cakranegara. Jaraknya sekitar 2,5 kilometer dari Mataram. Basuki mengenal mantan pemandu wisata--yang kini sibuk melakukan eksplorasi geologi di Lombok dan Sumbawa--itu saat satu kapal menuju Lombok.
Setelah menghabiskan malam yang sejuk, pada 26 Januari 2006, saya, Boy, Basuki, dan Devi bersiap berangkat ke Rinjani. Dua teman kami lainnya urung berangkat karena kondisi kesehatan mereka tidak memungkinkan.

(halaman belakang rumah pak made yang tenang)

Pagi itu, kami berangkat sekitar pukul 10.00 Wita. Tujuan pertama kami adalah Sembalun Lawang, salah satu pintu pendakian ke Rinjani. Letaknya di tenggara gunung. Pak Made yang luar biasa baik hati itu--karena menjemput kami di pelabuhan Lembar dan menyediakan tempat menginap di rumahnya yang luas--mengantar kami sampai ke Sembalun dengan jip perkasanya. Pak Made pula yang mencarikan porter, pengangkut beban mendaki, untuk membawa beban Boy dan Devi.
Satu setengah jam perjalanan, jip mulai melintasi jalan pegunungan dengan tanjakan terjal dan berliku-liku. Udara dingin mulai menusuk tulang karena jip Pak Made yang terbuka. Sialnya, pagi itu saya hanya mengenakan kaus oblong. Pak Made mengatakan, kami akan melintasi jalan setinggi 2.000 meter di atas permukaan laut.
"Tidak semua mobil bisa melintasi jalan ini," kata Pak Made. Sesekali kabut tebal membatasi jarak pandang. "Bunga Edelweiss!" kata seorang teman yang duduk di bangku depan. Bunga yang akrab dengan para pendaki gunung ini memang hanya ditemukan di ketinggian minimal 2.000 meter dpl. Jip terus mendaki melewati kawasan hutan tropis yang lembab.
Belum selesai saya memelototi Edelweiss, kami sudah berada di puncak tertinggi jalan. Di sebelah kanan, jauh di bawah, terhampar Lembah Sembalun dengan ketinggian sekitar 1.000 meter dpl. Jip Pak Made berjalan menurun. Tidak lama, kami melintasi sebuah dusun yang terkena musibah longsor beberapa hari sebelumnya. Sejumlah rumah rata dengan tanah karena hantaman bebatuan besar.
Tak sampai sepuluh menit, kami tiba di pos pendaftaran pendakian. Barang-barang kami turunkan dari jip. Saya dan Basuki mencari warung untuk membeli minyak tanah dan nasi bungkus. Dasar penggila kerupuk, di warung itu saya sempat memborong satu bungkus besar kerupuk. "Lumayan untuk stok," pikir saya.
Di pos pendaftaran, petugas memperingatkan kami. "Musim hujan kurang bagus untuk mendaki, banyak kabut dan perjalanan akan melelahkan."
Ini memang pendakian pertama saya sejak tahun 2000. Tapi saya yakin tidak akan ada masalah. Naluri pendaki gunung saya merasa jalur Rinjani tidak lebih berat dari jalur lain sekelas Gunung Kerinci di Sumatera, yang pernah saya datangi. Dengan agak sombong, saat itu saya bergumam pada diri sendiri, "Yang lebih berat dan tinggi dari ini udah pernah gue jajal."
Sebelum berangkat, rombongan kami berbagi beban. Saya sempat kaget ketika Basuki meminta saya memasukkan botol minuman ringan ukuran 1,5 liter, dua kilogram beras, beberapa bungkus mi instan, dan enam tabung gas ke dalam ransel carrier saya. Belum sempat memprotes, Basuki menjawab, "Sorry, porternya minta isi tas dia dikurangi."
Alamak! Padahal saya sengaja memasukkan barang-barang berat kami ke dalam tas si porter itu. Dengan tambahan beban tersebut, saya akhirnya harus memanggul beban sekitar 17 kilogram menuju Rinjani.
Melihat beban yang lumayan berat itu, Pak Made sempat menawarkan tambahan seorang porter. Saya sempat bimbang, tapi akhirnya memutuskan menolak. Gila saja kalau harus membayar Rp 100 ribu semalam untuk pembawa beban saya itu. Seraya menahan gengsi (malu dong pendaki gunung tidak kuat membawa beban), saya meyakinkan Pak Made kalau beban seberat itu masih terpanggul.
Lagi-lagi karena kebaikan hati Pak Made, beban berat yang saya panggul itu akhirnya berpindah kembali ke mobilnya. "Saya antar kalian sampai gerbang taman nasional," katanya. Jip tangguh Pak Made akhirnya mengantarkan kami melintasi jalan perkebunan berbatu.
Waktu saat itu sudah menunjuk ke pukul 14.00 WITA. Baru 10 menit jip berjalan, kami terpaksa turun. Mobil perkasa itu rupanya sudah tidak bisa berjalan lebih jauh karena aliran air menggerus jalan dan menciptakan lubang sedalam satu meter.

(iyus, devi, gw, boy, adek, urun, ung, pak made)

(tertatih-tatih menyeberangi sungai yang kering)

Setelah bersalaman dengan Pak Made, kami melanjutkan perjalanan. Ah, berat nian beban di punggung ini rasanya. Ung, porter kami, berjalan di depan bersama Boy dan Devi. Dua teman saya itu melenggang karena hanya membawa beban yang ringan. Saya dan Basuki, yang membawa beban dua kilogram lebih berat dari saya, tercecer di belakang. Setiap 10 menit saya memutuskan berhenti. Rasanya sudah tidak peduli lagi berapa jauh jarak kami di belakang kedua teman dan porternya itu. Kami bahkan sempat memakan bekal nasi bungkus yang dibeli di dekat pos pendaftaran tadi. Lapar sudah tidak bisa dijinakkan. Sekitar pukul 17.00 kami sampai di pos peristirahatan pertama. Rasa lelah membuat saya memutuskan mendirikan tenda untuk menginap di pos itu. Padahal awalnya kami berencana mencapai pos ketiga, yang berada di kilometer keenam. Kami mendirikan dua tenda. Saya bersama Basuki dan tiga orang lainnya dalam satu tenda yang ukurannya lebih besar. Sedangkan Devi--perempuan satu-satunya dalam rombongan kami--menempati tenda lainnya. Hari mulai gelap dan Ung mulai memasak untuk kami. Nasi, telur dadar, dan sayur sup menjadi menu malam pertama kami di Rinjani. Tubuh yang lelah membuat saya cepat sekali tertidur

(sebatang pohon kesepian di perjalanan dari posII ke pos III)

Dihadang Hujan di Pendakian
Entah kenapa, setiap kali mendaki gunung, saya selalu bangun pagi-pagi sekali. Pukul 05.00 saya sudah melek. Lambat-laun hari mulai terang. Tapi kami tidak bisa langsung berkemas karena gerimis tidak berhenti sejak dini hari. Pukul 08.00 hujan makin deras. Ung menyiapkan sarapan buat kami, mi instan.
Sekitar pukul 11.00, cuaca mulai cerah. Kami membongkar tenda dan mengepak tas masing-masing. Saat mengemas barang-barang, hujan kembali turun. Kami berteduh di bawah pos peristirahatan sambil melanjutkan berbenah. Ah, hujan memang selalu melemahkan semangat untuk memulai langkah.
Pukul 12.30, kami nekat menerobos hujan. Udara dingin menyerang. Tapi lima menit berjalan, rasa dingin berganti menjadi gerah. Tubuh penuh keringat karena kami berjalan dengan beban di pundak dan dada.
Seperti hari pertama, saya dan Basuki kembali tercecer di belakang. Dalam perjalanan, saya masih sempat mengirim pesan pendek kepada perempuan yang saya sayangi, yang sempat saya bikin kesal karena rencana pendakian ini.
Sejak pos pertama hingga perjalanan hari kedua, ponsel kami masih mendapat sinyal. Tapi saya berusaha menghemat baterai dan hanya menghidupkan ponsel jika saya ingin mengirim pesan pendek.
Menjelang pukul 15.00, hujan reda. Cuaca mulai cerah dan kami bisa melihat puncak gunung yang sesekali tertutup kabut tipis. "Aduh, masih jauh sekali," pikir saya.
Entah berapa jauh saya dan Basuki terpisah dari kelompok Ung. Saya mendapati ketiga orang itu sedang duduk santai di pos kedua. Hampir setengah jam mereka menunggu kami. Setelah beristirahat sekitar 15 menit, kami melanjutkan perjalanan. Jalur yang landai memudahkan kami sampai di pos III satu jam kemudian.

(liku-liku perjalanan menuju posIII)

Pos III terletak di tepi aliran sungai hujan. Pos ini bukan tempat yang tepat untuk bermalam. Setelah kami menyantap agar-agar, Ung menunjukkan lokasi tepat untuk membuka tenda, sekitar 15 menit perjalanan dari pos III. Rasa lelah tak bisa ditawar lagi. Kami membuka tenda dan memutuskan bermalam. Menu malam ini adalah nasi sayur dan telur dadar lagi.
Selesai makan malam, saya segera merebahkan tubuh di tenda. Waktu baru menunjukkan pukul 19.00. Tapi rasa kantuk karena lelah mulai datang. Belum sempat saya memejamkan mata, dari kejauhan terdengar gemuruh angin. Suara gemuruh makin dekat dan tiba-tiba hujan turun disertai angin. Saya dan Basuki sempat kelabakan karena angin membuat kain pelapis tenda copot dan nyaris terbang.

Untung kejadian itu hanya sekali. Selanjutnya, kami sibuk memperhatikan tenda karena rembesan air hujan membasahi beberapa sudut tenda. "Ah, mendaki di musim hujan memang tidak nyaman meskipun pada musim panas udara dingin lebih menusuk," kata saya.
Pukul 01.00 dini hari hujan mulai reda. Mata yang tadinya mengantuk sukar dipejamkan karena hati diliputi rasa waswas kalau-kalau tenda kami kembali digoyang angin. Setelah berusaha keras--dan terus membayangkan wajah orang-orang yang saya tinggalkan di Jakarta--saya akhirnya tertidur juga.

(camp kedua kami, disini menghabiskan 2 malam menanti cuaca sedikit bersahabat)

Nyanyian di Tengah Hujan
Hari ketiga, 28 Januari, adalah hari yang membosankan bagi kami. Seperti kemarin, saya terjaga pukul 05.00. Seperti kemarin pula, gerimis masih membasahi tenda kami. Setelah sarapan, kami berusaha kembali tidur karena tidak ada tanda-tanda gerimis akan reda. Jam menunjukkan pukul 10.00. Gerimis belum berhenti. Sesekali angin kencang dan hujan deras menghantam tenda kami yang berdiri berhadap-hadapan.
Terlalu lama tidur membuat kami pusing. Untunglah Boy membawa kartu domino sehingga kami bisa mengisi waktu. Dua jam bermain domino membuat kami bosan. Adapun Ung sibuk menampung air hujan dari tenda untuk memasak dan minum. Setelah makan siang, saya kembali berusaha tidur, tapi mata tak mau terpejam. Di dalam tenda, saya dan Basuki berusaha mengisi waktu dengan mengobrol. Lama-kelamaan, semua bahan obrolan habis dibicarakan. Mau apalagi di tengah hujan ini kalau tidak menyanyi.

(sebagian dari air hujan yang kami tampung, pengganti cairan tubuh yang hilang)

Puluhan lagu sudah kami nyanyikan. Berteriak keras sampai suara habis, tapi hujan belum juga berhenti. Jam di tangan saya menunjukkan pukul 16.00. Kami memang terpaksa harus bermalam lagi di tempat yang sama karena tidak mungkin melanjutkan perjalanan. Malamnya, cuaca cerah. Inilah untuk pertama kali saya melihat bintang dari Rinjani. Setelah makan malam, saya membuat agar-agar menggunakan air hujan yang ditampung dari tenda. Kami pun kembali tidur dan berharap bisa melanjutkan perjalanan esok pagi.

(kabut yang datang silih berganti)

Puncak Tipuan
Pukul 05.00 pagi, saya mengintip ke luar tenda. Alhamdulillah, cuaca cerah. Sejam kemudian, semua awak terjaga. Saya langsung membagikan agar-agar yang saya buat tadi malam sambil menyeruput susu cokelat. Setelah makan, tanpa menunggu perintah, semua berbenah mengepak barang bawaan masing-masing dan membongkar tenda. Tepat pukul 07.00, kami melanjutkan perjalanan.
Jalur yang kami lewati kali ini mulai terjal dengan tingkat kecuraman sekitar 45 derajat. Kami terus meniti punggung gunung yang disebut tanjakan Tengengean.
Saya dan Basuki kembali tertinggal di belakang. Setiap istirahat kami sempatkan menyantap sebatang cokelat untuk menambah tenaga. Dua jam perjalanan, hujan turun. Saya terpaksa berhenti untuk mengenakan jas hujan. Kali ini kami mulai memasuki kawasan hutan pinus dan meninggalkan padang rumput.
Setelah hujan reda, cuaca kembali cerah yang menambah semangat melangkah. Pukul 11.30, kami tiba di puncak Bukit Pelawangan Sembalun. Inilah bukit tertinggi yang berdiri di samping puncak Rinjani. Dari puncak Pelawangan, terlihat jelas Danau Segara Anak terhampar berikut sebuah gunung baru yang menyembul di tengahnya.

(sebagian danau segara anak dilihat dari pelawangan sembalun)

(adek, gw, devi, boy di pelawangan sembalun berlatar belakang segara anak)

Dari Bukit Pelawangan Sembalun, jalan bercabang. Satu jalan menanjak ke arah kiri menuju puncak Rinjani dan jalan lainnya menuruni bukit menuju danau. Saya dan Basuki menuju ke puncak, sedangkan yang lain langsung ke danau. Saya berjanji turun ke danau sekitar pukul 16.00. Setelah mengambil foto dengan latar belakang danau, saya dan Basuki mulai meniti jalan ke puncak.
Meski cuaca cerah, puncak Rinjani, yang berada di ketinggian 3.762 meter dpl, tertutup kabut. Angin pun berembus makin kencang. Jalan menuju puncak merupakan tanah berpasir bercampur bebatuan. Kemiringan jalur yang melebihi 50 derajat ini benar-benar menguras tenaga. Belum lagi kami harus melalui jalan setapak bekas jalur air dengan kedalaman setengah hingga satu meter.
Waktu sudah pukul 15.00. Kami belum juga mencapai puncak. Puncak Rinjani berselimut kabut. Ketika angin sempat membawa pergi kabut, terlihat sebuah bongkahan batu. Saya dan Basuki senang bukan main. "Kita sudah dekat," kata Basuki.
Seperti mendapat suntikan tenaga baru, kami kembali bersemangat melangkah. Sesekali kami harus tiarap karena angin sangat kencang. Kami menyempatkan istirahat sambil minum susu cokelat. Tiba-tiba angin kencang datang, membersihkan seluruh puncak dari kabut. Langit biru. Kami terkejut bukan kepalang. Bongkahan batu yang kami kira puncak ternyata hanya bagian jalan yang harus ditempuh untuk mencapai puncak sesungguhnya.

(bergaya dulu berlatar belakang "candi prambanan")

("candi prambanan" yang membuat kami shock, masih jauh euy..)

Ketika kabut menghilang, tiba-tiba menyembul sebuah bongkahan batu lainnya, mirip Candi Prambanan, dari tempat kami terduduk. Inilah puncak sesungguhnya.Waktu menunjukkan pukul 15.30. Jalan semakin terjal. Angin yang sangat kencang berulang kali memaksa kami menunduk. Daripada berulang kali menunduk atau tiarap, saya memutuskan merangkak menuju puncak. Merangkak ternyata menguras tenaga lebih banyak. Tapi itu lebih baik daripada saya terbang terbawa angin. Setelah hampir satu jam, kami sampai di puncak.
Orang bilang, dari puncak Rinjani kita bisa melihat Gunung Agung di Bali dan Gunung Tambora di Sumbawa. Namun, kabut yang kembali datang membatasi penglihatan kami. Angin yang makin kencang mendorong kami untuk langsung turun.
Berjalan menuruni puncak bukanlah hal yang mudah. Jalur sempit berpasir membuat saya berulang kali terduduk. Bahkan kerap saya hanya bisa duduk merosot hingga celana saya kemasukan pasir.
Setelah dua jam yang melelahkan, kami berdua kembali ke Pelawangan Sembalun. Setelah duduk sejenak, kami melanjutkan perjalanan. Turun ke danau karena hari sudah gelap.
Menuruni Bukit Pelawangan Sembalun ternyata harus melalui jalur yang sangat terjal. Jalan setapak terbuat dari bebatuan solid dan disertai tiang pengaman di pinggirnya. Beberapa kali saya dan Basuki sempat kebingungan karena jalur tertutup longsoran bebatuan. Rasa haus mulai datang. Persediaan air putih hanya tinggal sekitar 200 ml. Rasa lapar pun tak tertahankan.

(bongkar tenda di camp ketiga)


(satu sisi pemandangan dari camp ketiga kami -- adek dan gw)

(menikmati pemandangan sebelum berangkat menuju danau)

Syukurlah, setelah hampir dua jam menuruni jalan bebatuan, kami memasuki jalur yang landai di pinggang bukit. Dari kejauhan, gemericik air terdengar. Ah, ternyata kami melintasi sungai. Tanpa pikir panjang, saya dan Basuki langsung turun ke sungai, minum sepuasnya.
Setelah minum, kami melanjutkan perjalanan dan mencari lokasi yang tepat untuk membuka tenda. Dengan kondisi fisik yang sudah lemah, setelah berjalan sekitar 13 jam, kami memutuskan ke danau esok pagi. Akhirnya kami mendirikan tenda di tengah jalan setapak yang lumayan lebar, hampir dua meter. Di sebelah kiri kami menganga lereng curam, sedangkan di sebelah kanan adalah lembah yang tertutup kabut. (Bersambung)
ADEK MEDIA ROZA

.................
koran tempo minggu, 19 februari 2006 atau kunjungi
http://korantempo.com/korantempo/2006/02/19/Perjalanan/
belum sempat buat tulisan tentang perjalanan kemarin, untunglah temen gw dah nulis (dimuat di koran lagi!), jadi gw tinggal copy paste aja, hahaha... cerita ini bersambung di koran tempo minggu, 26 februari 2006

dua puluh

dua puluh
selama lebih dari seperempat abad
tidak memberikan apa-apa dalam hidupku
selalu lewat begitu saja seperti hari-hari yang lain

dua puluh
beberapa tahun terakhir sungguh berarti
mewarnai dan memaknai hidup yang sebelumnya hampa
berharap setiap hari adalah dua puluh

dua puluh
sejak saat itu aku selalu merindukannya
saat ini aku masih tetap merindukannya
sampai kapan pun aku tetap akan merindukannya

dua puluh
sebulan yang lalu dua puluh
hari ini adalah dua puluh
sebulan lagi juga dua puluh

....................
hari ini senin, 20 februari 2006 adalah dua puluh gw ke-22

Thursday, February 16, 2006

dead man dreaming

dreaming my dreams
Ah the things you said to me today
Changed my perspective in every way
These things count to mean so much to me
Into my faith you and you're baby

It's out there
If you want me I'll be here It's out there
If you want me I'll be here

I'll be dreaming my dreams with you
And there's no other place
That I'd lay down my face
I'll be dreaming my dreams with you

It's out there If you want me I'll be here
I'll be dreaming my dreams with you
And there's no other place
That I'd lay down my face
I'll be dreaming my dreams with you
(lyrics by dolores o'riordan)

Wednesday, February 15, 2006

This Way

sugar, baby

i need to forget it to move on
but i can still remember your smile
as if somewhere you close to me
how can it be

i need to erase you from my mind
but i still feel your arms holding me
everytime i close my eyes

now you have gone so far away
but your present’s still too real
why you left me to feel this way

i still feel your warm breath in my ear
when you whispered the sweetest thing
why you left me to feel this way
this way

don’t you know baby
that this feeling
keeps me waiting like
like you’ll come back to me

and sometimes in my dreams
i see you’re smiling
but when i wake up
it’s just disappeared

..........................
i dedicated this tompi"s lyric to someone out there......

Cokelat Perekat Cinta

........
Pada perkembangannya, cokelat identik dengan ungkapan cinta. Rasa manis dan nikmatnya cokelat saat meleleh di lidah diidentikkan dengan perasaan pasangan yang tengah dilanda cinta. Pamor cokelat sebagai simbol cinta belakangan kian meningkat setelah para ilmuwan melakukan sejumlah penelitian dan menemukan bahwa cokelat bisa meningkatkan perasaan cinta. Kegiatan mengunyah cokelat rupanya dapat melepaskan cairan kimiawi tertentu yang bisa merangsang perasaan cinta.

Melvyn Rubenfire, M.D., Direktur Preventive Cardiology University of Michigan, Amerika Serikat, mengatakan, sepotong cokelat memberikan sensasi euforia sehingga dapat lebih mengungkapkan perasaan cinta kepada pujaan hati. Menurut dia, kudapan manis yang digemari berbagai usia ini mampu memperbaiki suasana hati dan meningkatkan respons pancaindra.

Cokelat tak hanya membuat hati senang, ia memberikan segudang khasiat bagi penikmatnya. Dalam jumlah cukup, cokelat membantu menjaga kesehatan jantung, panjang umur, dan mengontrol gula darah. Rubenfire menambahkan, cokelat juga berkhasiat sebagai pengusir depresi alami laiknya Prozac--obat stres. "Jadi tak usah merasa bersalah saat menikmati sekotak cokelat pemberian kekasih di hari Valentine ini," kata Rubenfire.

Fakta lain yang mungkin bisa menjadi jawaban mengapa cokelat didaulat sebagai kudapan cinta adalah kandungan phenylethylamine dalam cokelat. Menurut Kathleen DesMaisons, Ph.D, penulis buku The Sugar Addict's Total Recovery Program, phenylethylamine adalah senyawa kimia dalam cokelat yang mirip dengan senyawa yang dihasilkan otak saat seseorang jatuh cinta, amphetamine. Zat ini mampu meningkatkan serapan triptofan ke dalam otak yang kemudian pada gilirannya menghasilkan dopamin.

Dampak dopamin adalah muncul perasaan senang dan perbaikan suasana hati. Phenylethylamine juga dianggap mempunyai khasiat aphrodisiac yang memunculkan perasaan seperti orang sedang jatuh cinta (hati berbunga). "Artinya, sudah saatnya Anda masukan cokelat sebagai salah satu alat perekat hubungan Anda dengan pasangan," katanya. Tapi hati-hati dengan cokelat yang banyak di pasar sekarang, kandungan gulanya kerap lebih tinggi ketimbang kakao. Alhasil, bukannya perasaan berbunga-bunga, malahan Anda terserang sakit gigi.

koran tempo 15 februari 2006 "Cokelat Perekat Cinta" atau http://korantempo.com/korantempo/2006/02/15/Gaya_Hidup/

...................................
hiks, menyesal gw ga pernah ngasih dia coklat...:((

SUTET tidak berbahaya !!

Jaringan listrik itu memang mampu membangkitkan medan listrik dan medan magnet. Desis konduktornya, rambut yang berdiri pada bagian badan tertentu ketika berada di dekatnya, atau mungkin lampu neon dan test-pen yang menyala redup adalah bukti adanya paparan atau pajanan medan elektromagnet itu.
Sekarang problemnya, apakah SUTET, yang menjadi bagian dari sistem transmisi listrik sejauh lebih dari 2.300 kilometer milik PT Perusahaan Listrik Negara, benar bisa sebahaya di atas? "Dari penelitian yang kami lakukan sepuluh tahun lalu, tidak," kata Corrie Wawolumaya dari Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di sela-sela "Diskusi Panel tentang Permasalahan Penggunaan SUTET dalam Sistem Ketenagalistrikan di Indonesia" di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi kemarin.
Corrie menjelaskan, dalam penelitian pada 1996, dia melakukan sistem zonasi permukiman di bawah dan sekitar lokasi jalur hingga jarak lebih dari 30 meter. Corrie dan timnya mengkaji mulai pengaruh terhadap sel, jaringan, sampai kelompok manusia. Hasilnya, menurut Corrie, tidak ditemukan hubungan antara kanker leukemia yang diderita anak-anak dan SUTET seperti yang ditakutkan. "Kami memang akan meng-update hasil itu, tapi sampai saat ini kesimpulannya (SUTET) tidak berbahaya," katanya.

selengkapnya, baca "(Ada) Kehidupan di Bawah Kabel Besar", koran tempo rabu 15 februari 2006, atau klik http://korantempo.com/korantempo/2006/02/15/Ilmu_dan_Teknologi/

Thursday, February 09, 2006

banjir bandang

ketika cinta itu begitu derasnya membandangku, tidak banyak pilihan yang tersedia. hanya ada dua pilihan, hanyut dalam keadaan hidup atau mati. siapa yang kuat melawan kuatnya arus deras itu, sekuat apapun manusia itu, melawan arus deras yang membandang apa saja adalah sia-sia. semakin kuat melawannya, semakin cepat pula tenaga terkuras, lemas akhirnya mati dan tetap saja terhanyut derasnya arus itu. pilihan terbaik adalah menghanyutkan diri mengikuti kemana arus itu membandang diri, meskipun tidak tahu kapan arus itu menjadi tenang atau dimana dia akan berujung, hidup atau mati kita diakhir derita itu. berharap derasnya arus itu cepat berakhir menjadi tenang hingga bisa melepaskan diri dari alirannya...

Tuesday, February 07, 2006

Save Me

It started off so well, they said we made a perfect pair
I clothed myself in your glory and your love,
how I loved you, how I cried.
The years of care and loyalty were nothing but a sham, it seems
The years belie we lived a lie I'll love you 'til I die.

Save me save me save me, I can't face this life alone
save me save me save me, I'm naked and I'm far from home.

The slate will soon be clean I'll erase the memories,
To start again with somebody new,
was it all wasted, all that love?
I hang my head and I advertise a soul for sale or rent
I have no heart I'm cold inside, I have no real intent

Each night I cry I still believe the lie I'll love you 'til I die.

Save me save me save me, I can't face this life alone
save me save me save me, Don't let me face my life alone.
save me save me save me, I'm naked and I'm far from home

......................................
setelah sekian lama gak buka blog, pengen nulis sesuatu, tapi belum sempat. jadi iseng aja pasang lirik lagu yang gw nyanyiin (duet beto) di gunung...