Thursday, March 30, 2006

bingung

rencana awal dari depok adalah naik ke lawu, tapi temen berangkat kamis sore naik pesawat. gw berangkat rabu tengah malam naik bus, sampe jogja jam 10 pagi. setelah beberapa jam nongkrong di jogja nungguin temen, BT juga dan akhirnya tergoda untuk naik merbabu ato merapi. baca berita di koran merapi katanya mau meletus, sepertinya menarik juga untuk mengunjungi merapi sebelum meletus.
tapi bingung juga mau ke merbabu ato merapi sendiri, soalnya gak bawa perlengkapan dari depok. tapi nungguin temen kayanya lama banget. ah sebelnya kalo pergi2 tanpa perencanaan.

Tuesday, March 28, 2006

???

“Anda hidup dalam kegelapan dan bersimbah darah tanpa alasan” kata Saddam Hussein di ruang sidang.

Kepada siapa kalimat itu ditujukan? Rakyat Iraq? Tentara Amerika? Majelis hakim? Semua manusia? Atau hanya untuk saya?
Alangkah hebatnya Anda, Tuan Saddam! Bagaimana Anda bisa tahu kehidupan saya?

menggugat TUHAN

Kementrian Lingkungan Hidup menemukan sejumlah pelanggaran oleh PT Freeport Indonesia yang pada intinya telah mencemari lingkungan. Tapi mereka hanya diminta untuk memperbaikinya dalam waktu dua-tiga tahun. Tidak adakah tindakan yang lebih tegas dan nyata yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan? Ataukah memang bangsa ini hanya sebuah bangsa budak.

Memang semua yang masih mempunyai keinginan dan hidup adalah budak, budak yang selalu terbelenggu oleh keinginan dan kehidupan itu sendiri. Jadi sebenarnya bangsa yang terdiri dari makhluk hidup pastilah bangsa budak. Kalo tau bangsa ini adalah bangsa budak, lalu kenapa gw masih mengeluhkan dengan ketidakmampuan bangsa ini melawan belenggu kapitalis?

Jangankan manusia yang masih mempunyai keinginan, gw yang sudah enggak punya keinginan—atau mempunyai keinginan yang berlebihan?—aja masih merasa jadi budak karena masih hidup. Budak. Ya, budak dari kehidupan itu sendiri karena Tuhan hanya ngasih gw kewajiban untuk hidup tanpa ngasih hak untuk memilih mati. Adilkah? Tentu saja tidak adil!

Ketika manusia merasa kehidupan ini hanyalah belenggu yang menjadikannya budak dan kematian adalah pembebasannya, ketika manusia merasa kehidupan lebih menyiksa dari neraka, bukankah seharusnya Tuhan memberikan hak pada manusia untuk menentukan kematiannya?

Yang bisa dilakukan manusia hanya mencoba untuk mati, tapi hasilnya tetap Tuhan yang menentukan karena memang manusia tidak mempunyai hak untuk memilih waktu kematiannya. Lalu kenapa gw enggak mencoba mati seperti yang dilakukan Veronika? Apakah memang gw masih betah menjadi budak kehidupan?

Bukan! Gw bukannya masih betah menjadi budak kehidupan. Gw masih ingin—berarti gw bukannya enggak punya keinginan lagi, tapi punya keinginan yang berlebihan—menggugat Tuhan atas ketidakadilan ini tapi sayangnya belum ada mahkamah yang bisa mengadili Tuhan. Atau ada yang tau dimana gw bisa mengajukan gugatan itu?


...............................
Depok, Sabtu 25 Maret 2006; 01:38.

hidup

Berhenti berpikir
hanya bernapas, bergerak
Tiada lagi masa lalu
juga masa depan
Tiada lagi pertemuan
juga perpisahan
Tiada lagi mata
juga hati

Berhenti berpikir
hanya bernapas dan bergerak
Tak ada lagi kenangan
apalagi harapan
Tak ada lagi ria canda
apalagi duka nestapa
Tak ada lagi cinta
apalagi benci

Berhenti berpikir
hanya bernapas dan bergerak
Tak kutemukan mati dalam hidup
tak ada mati dalam hidup
Dalam mati ada hidup?

………………………………………
Depok, Selasa 28 Maret 2006; 01:42.

Friday, March 24, 2006

UNTUK PRIABIRU

hai priabiru
tampakkan wajahmu
tinggalkan jejakmu
jangan lempar kata
sembunyi muka
hahaha

Tuesday, March 21, 2006

Roxanne *)

Aaah
…….sudah
……………mendesah
………………………..basah
………………………………pura-pura?
Aku tak peduli!

................
*) judul lagu the police

Monday, March 20, 2006

dua puluh tiga

“mana lilinnya sayang?”
“bentar pa,” jawab gabriel, “tadi di bu nas cuma ada tiga pa. aku cariin di dapur cuma ada dua, di kamar papa ada lagi nggak?”
“kurang tiga lagi ya, kayanya di kamar mandi papa masih ada dua atau tiga lagi. yang bekas juga enggak apa-apa kok yang penting masih bisa dinyalain.”
Gabriel langsung masuk ke dalam kamarku, mencari lilin yang masih belum lengkap dua puluh tiga.

Setiap tanggal sembilan belas malam kami biasanya makan di restoran, tidak selalu restoran mahal pernah juga hanya di sebuah warung tenda tak jauh dari rumah. Selesai makan malam kami akan menyusun lilin yang kami bawa dari rumah, melingkar kemudian menunggu hingga jam 00:00 tanggal dua puluh dan menyalakannya. Lilin-lilin itu akan menyala selama beberapa saat sesuai dengan jumlah lilin yang ada, satu lilin sama dengan satu menit. Setiap bulan kami menambah satu lilin yang berarti menambah satu menit waktu nyalanya.

Malam ini aku memutuskan untuk merayakan dua puluh yang ke dua puluh tiga di rumah saja, jumlah lilin yang harus kami nyalakan adalah dua puluh tiga dan akan menyala selama dua puluh tiga menit. Sorenya kami sudah membeli ikan pecak kesukaan kami yang sudah kupanaskan beberapa saat sebelumnya. Hanya itu menu kami malam itu, tidak istimewa dan mungkin memang kami juga merayakan sesuatu yang tidak istimewa.

“kurang satu pa, di kamar mandi cuma ada dua, itu jugayang satu udah bekas dinyalain pa.”
“ya udah enggak apa-apa, kita potong aja satu lilin jadi dua biar jumlahnya pas dua puluh tiga. Ayo cepat sayang, udah jam sebelas lewat nih.”

Kami berjalan menuju beranda belakang rumah untuk makan malam. Sebenarnya aku ingin melakukan ritual itu di bawah pohon trembesi di halaman belakang rumah, tapi sejak sore tadi rinai tidak juga berubah jadi hujan ataupuin mereda. Rinai itu tetap seperti itu saja, sebenarnya romantis suasana seperti itu, aku juga merasa romantis malam itu. Atau adakah seseorang yang mengirimkan rinai itu untukku? Ingin menghadirkan sedikit suasana romantis buat kami, aku dan gabriel?

“ayo pa, aku udah siap makan.”
“iya, ayo.” aku langsung duduk di depan gabriel yang sudah duduk lebih dulu.
“selamat makan.”
“selamat makan.”

Beberapa saat kami tidak bersuara menikamati makan malam kami. Kulihat jam di ha-pe sudah menunjukkan jam 23:36.

“kenapa sih pa setiap tanggal sembilan belas malam kita melakukan ini?” tanya gabriel tiba-tiba, sudah menjadi pertanyaan rutin yang diajukannya, dan dia juga sudah hafal jawaban apa yang akan kuberikan.
“kita tidak punya hari untuk dirayakan, jadi apa salahnya kita merayakan tanggal dua puluh?” aku memberikan jawaban rutin itu, “yah, boleh dibilang untuk menghargai hidup ini sayang. Maka kita merayakannya, melakukan ritual ini.”
“kenapa...”
“lihat rinai itu, romantis kan?” aku segera memotongnya sebelum dia menyelesaikan pertanyaannya, karena aku tahu dia akan menyerbu dengan bermacam pertanyaan yang bertubi-tubi dia lontarkan.
“iya.” jawabnya putus asa karena tidak akan pernah mendapat jawaban yang memuaskan tentang apa yang kami rayakan malam itu.

Kami terdiam lagi, aku melihat sedikit kekecewaan di wajahnya. Rinai masih tetap saja seperti awalnya turun sore tadi, aku mengharapkan rinai itu menghujan, melebat bahkan menjadi badai sekalipun akan membuatku lebih senang. Tapi rinai itu tetap rinai, tidak berubah menjadi hujan, tidak juga reda menjadi cerah.

Selesai makan malam jam 23:54 kami langsung menyusun dua puluh tiga lilin itu melingkar. Sambil menunggu tepat jam 00:00 tanggal dua puluh kunyalakan sebatang rokok, kuhisap dalam-dalam dan perlahan kuhembuskan lagi mencemari udara bersih malam itu.

“lima, empat, tiga, dua, satu, nyalakan pa!” gabriel menghitung mundur.

Kunyalakan kedua puluh tiga lilin itu satu per satu, ada beberapa yang agak susah dinyalakan. Kira-kira membutuhkan semenit menyalakan semua lilin itu. Seperti biasa, kami hanya duduk menunggu waktu untuk meniup mematikan kedua puluh tiga lilin itu. Entah apa yang sedang dipikirkan gabriel, sebentar-sebentar dia melihat jam tangannya.

Aku sendiri masih sibuk memikirkan rinai yang seolah dengan setia mengiringi ritual kami malam itu. Bayangan wajahnya berkelebat ringan melayang dalam awang-awang lamunanku. Mungkinkah dia yang mengirimkan rinai ini untukku? Mungkinkah dia masih memikirkanku? Kunyalakan rokok ketiga setelah makan malam tadi. Ah, mana mungkin dia masih sempat memikirkan aku.

“satu menit lagi pa.”
“iya.”

Kumatikan rokok yang masih setengah, menunggu saat untuk meniup mematikan kedua puluh tiga lilin itu. Belum sempat pikiranku mengelana, gabriel sudah mulai lima hitungan mundurnya.

“lima, empat, tiga, dua, satu, tiup pa!”

Setelah meniup sebanyak empat kali akhirnya kedua puluh tiga lilin itu itu mati juga. Rinai masih tetap saja tidak berubah. Gabriel sudah tampak ngantuk sekali, dengan pelan-pelan membereskan kedua puluh tiga lilin itu memasukkan ke dalam kantong plastik, aku membereskan piring-piring bekas makan malam kami.

“nite-nite sayang. Thanx for tonight!”
“congratz pa! Nite nite. i love you!”
“thanx. I love you too!”

Kututup kamarnya pelan tanpa suara. Dia selalu mengucapkan selamat untukku sebelum tidur, bukan saat kutiup lilin-lilin yang selalu bertambah setiap bulan itu. Tidak pernah kutanyakan kenapa dia selalu mengucapkannya sebelum tidur, itu haknya untuk menentukan kapan waktunya memberiku ucapan selamat, haknya juga untuk menentukan memberiku ucapan selamat atau tidak dan aku tidak punya hak untuk memintanya memberiku ucapan selamat.

.........................
Depok, 20 maret 2006; 02:43.

bayangkan

direguknya
…………..wiski
………………..direguk
……………………….direguknya
bayangkan kalau tak ada wiski di bumi
sungai tak mengalir dalam aortaku katanya

di luar wiski
……………di halaman
………………………..anakanak bermain
bayangkan kalau tak ada anakanak di bumi
aku kan lupa bagaimana menangis katanya

direguk
………direguk
………………direguknya wiski
…………………………………sambil mereguk tangis

lalu diambilnya pistol dari laci
bayangkan kalau aku tak mati mati katanya
dan ditembaknya kepala sendiri
bayangkan

sutardji calzoum bachri
1977


…………………
Dan kalau wiski membeludak menggantikan darah, apa yang bisa menghentikan selain kematian?

Saturday, March 18, 2006

hanya biru?

kalo yang gw liat, rasakan, tau, pahami, punyai ato gw alami hanya biru, lalu bagaimana gw harus menulis, bercerita tentang putih, kuning, hitam, abu-abu ato apapun yang lain selain biru?
Gw ga akan bisa menceritakan sesuatu yang ga gw ketahui, meskipun mungkin dengan susah payah bisa gw bayangin tetapi ga terjamin kebenaran dari hasil bayangan itu. Nanti kalo ada yang ga suka karena bayangan gw salah tentang sesuatu yang ga gw ketahui trus ada yang nuntut gw gimana? Subversif lah, provokatif, pencemaran nama baik, mengancam keutuhan NKRI ato ribuan istilah lain yang mungkin belum pernah terbayangkan apa itu.
Padahal apalah artinya nama baik kalo itu hanya sekedar nama, kenapa bukan para pencemar lingkungan itu yang dituntut? Kenapa mereka yang mengacak-acak keutuhan hutan tropis justru dengan tenang menikmati kenyamanan mobil mewahnya di tengah kepadatan lalulintas ibukota? Dan juga mengisi istana yang tersebar di mana-mana dengan puluhan gundiknya, ato juga mengekspor uangnya tanpa kena pajak.
Mungkin memang benar ini bangsa kanibal *), benar-benar NKRI, Negara Kanibal Republik Indonesia.
kok jadi ngelantur ya? oke, sekarang kembali ke masalah kenapa postingan gw akhir2 ini selalu haru biru.
kalo yang gw pahami hanya biru, yang gw rasakan hanya biru, yang gw punya hanya biru, dunia gw hanya biru (masih mending SGA ya dunianya masih punya dua warna, hitam dan putih), maka yang bisa gw berikan, ceritakan, tulis atau gw sampaikan ya sebatas biru. meski gw juga pernah merasakan dunia yang warna-warni dan dulu gw bisa dengan mudah memberikan, menceritakan, menuliskan atau menyampaikan sesuatu yang warna-warni seperti pelangi.
sekarang ingatan gw tentang warna-warni dunia itu terlalu sedikit dan tak berani ambil resiko memberikan, menceritakan, menuliskan atau menyampaikan sesuatu yang hanya samar-samar tersisa di benak gw.
walah, jawabannya ngelantur lagi kan...
jadi intinya untuk sementara (atau selamanya?) yang bisa gw posting ya sebatas biru saja, entah warna lain kapan menyusul...

............................
*) "bangsa kanibal" by
  • yati
  • Friday, March 17, 2006

    sisa purnama

    22:31

    Berjalan di tepi Margonda yang sudah mulai lengang, ada seorang wanita berkaos putih sedang menunggu angkutan, mendekap tas di dadanya mungkin takut melihat kedatanganku. Aku mendongak ke atas, masih tersisa keindahan purnama malam sebelumnya, wanita itu ikut mendongak sekejap mungkin penasaran apa yang sedang kupandang.

    Bulan itu berada tepat di perbatasan antara langit bersih di utara dan awan tebal di selatannya, awan itu tidak membentuk garis lurus, tapi melengkung cekung ke arah bulan. Menyuguhkan komposisi indah seperti panorama pantai, senggigi atau pantai indah lainnya, langit biru seperti pantai dan lautan lepas menjadi samudra sedangkan awan seperti pasir pantai putih halus dan daratan menjadi sekedar pulau kecil, atau juga benua. Ada rongga diantara awan itu, menjulur memanjang seperti aliran sungai yang bermuara di pantai itu.

    Tidak terlihat kehidupan di atas sana, memang cuma beberapa saat aku mendongak menikmatinya sambil berjalan. Mungkin Gabriel sedang bermain di pasir pantai halus putih menghampar itu, atau mungkin juga memancing di tepi sungai itu. Aku tidak bisa melihatnya.

    22:33

    Aku masuk ke sebuah warnet, tampak dari beberapa orang sedang menatap monitor, ada yang berdua menatap satu monitor sambil tertawa-tawa entah apa yang ditampilkan layar monitor itu. Meja penjaga tampak kosong, kulihat seorang lelaki berjenggot tertidur di kursi yang seharusnya untuk pelanggan, bukan untuk penjaga. Tapi aku hampir yakin dia adalah penjaga warnet itu.
    “Mas. Mas! Mas!!” aku mencoba membangunkannya.

    Tapi dia tampak pulas seklai tidurnya, hingga tak tega lagi membangunkannya, mungkin dia sedang mimpi indah dalam pelukan kekasihnya, atau sekedar melepas lelah di tepi pantai memandangi ombak bergulung yang selalu pecah berakhir dengan buih-buih putih berbusa, tak jarang gulungan ombak itu pecah sebelum menghempas pasir putih di tepi pantai, bahkan terkadang pecah ketika masih jauh di tengah.

    Langsung saja aku keluar dan memandang langit yang masih indah sambil berjalan menuju warnet yang lain.

    22:36

    Masuk ke warnet dengan pintu geser, kemudian kulepas alas kaki karena memang harus dilepas dan kutaruh di tempat yang disediakan. Hanya ada seorang pelanggan yang ada di warnet itu, seorang wanita berkacamata.
    “Internet mas.”
    Penjaga itu hanya menunjukkan tempat yang bisa kupakai tanpa menjawab dengan kata-kata meskipun sama mudahnya untuk memahami maksudnya, dengan atau tanpa kata-kata. Aku sendiri sebenarnya juga sedang malas bicara karena tenggorokanku sepertinya masih meradang, sudah beberapa hari ini aku sakit batuk pilek.

    Langsung log on dan memasang flashdisk di USB port yang ada, sign in ke yahoomail dan blogspot. Setelah beberapa hari tidak online, banyak banget imel di inbox, 259 unread e-mail meskipun aku yakin tidak ada satu pun imel yang penting untuk dibaca kubuka juga inbox yang kebanyakan langsung dihapus sebelum dibaca.

    Upload “dongeng untuk gabriel” sambil menghapus imel, juga sign in ke yahoo messenger, siapa tau ada yang mencariku mungkin ada beberapa offline message untukku.

    “betoloto” hanya itu pesan offline dari seorang kawan, lupa melihat kapan dia mengirimnya, aku tidak membalasnya dan langsung menutup offline message kemudian sign out.

    Selesai upload ”dongeng untuk gabriel”, mampir ke blog beberapa kawan. Nulis pesan di shout box seorang kawan blogger yang sepertinya sedang gundah dengan pesan-pesan berantai, mengomentarinya dengan gurauan.

    23:04

    “Mas sudah mau tutup,” kata penjaga mengejutkan.
    “Oh iya, sebentar mas.”
    “Soalnya servernya lagi dibenerin mas,” jawabnya menjelaskan.
    Langsung mencabut flashdisk dan sign out, setelah membayar langsung aku keluar.

    Mampir di kaki lima dekat warnet,
    “Mas, lucky strike.”
    Pedagang kaki lima itu langsung mencari rokok di dalam, kemudian menyodorkan sebungkus lucky strike lights kepadaku.
    “Yang merah mas.”
    Dia langsung menarik tangannya dan masuk lagi mencari rokok yang kucari.
    “Sama dji sam soe deh mas.”
    Dia menyodorkan sebungkus lucky strike filters,
    “Sama apa mas?” rupanya dia tadi tidak mendengar dengan jelas.
    “Djie sam soe.”
    Cepat dia mengambilnya dan langsung menyodorkan padaku, aku langsung memberinya selembar lima puluh ribuan.

    Sambil menunggu kembalian, kunyalakan sebatang dji sam soe kemudian dia memberikan uang kembalian, selembar dua puluhan ribu,selembar puluhan ribu dan tiga lembar ribuan.

    “Bangsat,” aku mengumpat dalam hati, “mahal amat dia jualnya biasanya aku beli sebungkus paling mahal delapan ribuan.”

    Sambil berjalan pulang baru kupahami, mungkin karena sudah malam dia perlu tambahan keuntungan untuk membeli secangkir kopi. Langit masih tampak indah, bulan belum berpindah jauh dari tempatnya yang tadi. Dan aku juga masih belum bisa melihat Gabriel. Papa kehabisan tiket untuk menemuimu malam ini sayang...

    ........................................................
    Depok, kamis 16 maret 2006; 00:27.

    Wednesday, March 15, 2006

    dongeng untuk gabriel

    Sekarang adalah malam purnama, awan-awan yang tadi sore kelabu dan sebagian putih sekarang menguning seperti lukisan maestro seni lukis kelas satu yang karyanya dihargai jauh lebih tinggi sepeninggalnya. Awan yang tidak solid itu menghasilkan komposisi yang indah dengan gradasi warna yang sangat halus sungguh menenangkan hati siapa saja yang memandangnya. Kedua mataku enggan berkedip tak mau melewatkan keindahan yang tak pernah menampilkan satu komposisi yang sama, setiap detik berlalu selalu diikuti dengan perubahan komposisi meskipun sama indahnya.

    Sudah beberapa jam lamanya aku menemani Gabriel memandangi panorama menakjubkan itu tanpa saling bicara, kami tiduran telentang di atas rumput tanpa alas kedua telapak tangan kami menjadi alas kepala kecuali saat merokok aku duduk sesekali. Entah telah berapa batang rokok kuhabiskan selama memandangi purnama itu.

    “Pa, aku ngantuk,” Gabriel membangunkan aku dari lamunan, “ayo bobo Pa.”
    “Masa udah ngantuk, kamu enggak nyesel melewatkan orkestra purnama ini, sepertinya mereka baru selesai memainkan intro,” kataku membujuknya, aku tidak tau saat itu jam berapa dan telah berapa lama kami memandangi purnama, “emang udah ngantuk banget ya?”
    “Iya Pa, aku gak kuat melek lagi,” jawabnya setengah merengek.
    “Ya udah ayo, mau bobo di mana?”
    “Di atas Pa, biar cepet mimpi sampai di purnama itu. Aku ingin melihat purnama dari bulan Pa, sama bagusnya ga ya kalo diliat dari sana?”
    “Tidak ada sesuatu yang sama jika dilihat dari tempat dan sudut berbeda sayang,” aku tidak tahu apa dia memahami yang kukatakan, “bahkan sesuatu yang sama dan dilihat dari tempat serta sudut sama oleh orang yang berbeda bisa menghasilkan pemandangan yang berbeda, tergantung pikiran masing-masing yang melihatnya.”
    “Ayo Pa bobo,” katanya sambil menarik tanganku.

    Aku bangun tidak menjawabnya lagi. Kami berjalan menuju pohon trembesi tempat rumah pohon kami, sebenarnya tidak tepat kalau disebut rumah karena bangunan di atas pohon itu hanya terdiri dari satu ruangan berukuran dua kali dua setengah meter yang terbuat dari papan kayu, atapnya juga dari papan kayu, mungkin lebih tepat kalau disebut kamar pohon. Di sekeliling bagian luar kamar pohon itu ada geladak selebar satu meter tanpa pagar, kecuali di bagian depan lebih lebar satu meter di mana Gabriel biasanya bermain catur dengan Slamet yang berumur dua tahun lebih tua, anak tetanggaku.

    Kamar pohon itu kira-kira berada lima belas meter di atas pohon, dengan tangga tali yang menjuntai ke bawah sampai tanah. Dengan hati-hati aku menaiki tangga tali sambil menggendong Gabriel di punggungku, ada empat puluh delapan anak tangga dari bawah sampai ke teras kamar pohon.

    “Pa, aku kangen mama,” tiba-tiba saja Gabriel mengagetkan aku dengan suara pelannya ketika aku baru menginjak tangga ke dua puluh sembilan, seketika itu aku berhenti dan melirik Gabriel ke belakang. Sekilas masih sempat terlihat komposisi purnama yang berbeda lagi, kali ini semakin sedikit awan tipis yang tersisa.
    Aku tetap diam melirik matanya yang sayu, kemudian melanjutkan menapaki anak tangga tali satu per satu.

    “Kenapa Papa diam aja?”
    “Nanti sampai di atas kita bahas ya,” jawabku sambil terus menaiki tangga tali dan berharap sesampai di atas dia lupa menanyakan lagi karena langsung tertidur.
    Sampai di teras, aku langsung menuju ke dalam kamar pohon. Tidak ada kasur di kamar itu, hanya ada dua buah kantong tidur yang biasa kami gunakan, berwarna hitam dan coklat. Gabriel langsung masuk ke dalam kantong tidur hitamnya.

    “Papa masih punya janji,” baru selangkah aku menuju kantong tidur coklat ketika Gabriel menagih janjiku untuk membahas pertanyaannya.
    “Iya, papa inget kok sayang,” aku berbalik lagi ke arahnya dan duduk di sebelahnya, dekat dengan kepalanya.
    “Kenapa papa diam?” katanya mengulangi.
    “Ehm, begini sayang,” aku ragu-ragu memulai, khawatir Gabriel belum siap untuk menerima atau memahami jawabanku, “tidak mudah menyatukan dua manusia yang masing-masing mempunyai bermacam-macam keinginan, sifat, keyakinan, kesenangan dan lain-lain lagi.”

    “Kenapa mama pergi Pa?”
    “Mungkin papa enggak bisa membuatnya bahagia sayang, kita tidak pernah tau apa yang ada di hati orang lain.”
    “Papa sayang sama mama gak?”
    “Iya, papa sayang sama mama. Papa sayang sama kamu.”
    “Mama sayang kita gak Pa?”
    “Kalau kamu tanya seperti itu, hanya mama yang berhak menjawabnya sayang.”
    “Papa kangen sama mama gak?”
    “Eeeeeh.... iya,” jawabku pelan, “tuh matamu dah merah sayang, ayo bobo.”
    “Nite nite Pa, I love you!”
    “Nite nite sayang, I love you too!”

    Kukecup keningnya lalu bergeser menuju kantong tidurku yang berjarak sekitar satu meter dari tempat Gabriel. Beberapa saat di dalam kantong tidur mataku belum terpejam juga, memikirkan apa yang dia tahu tentang sayang, dia baru berumur tujuh tahun sekarang. Dia memang cerdas seperti ibunya, kenapa dia tiba-tiba menanyaiku seperti itu seperti seorang intel menginterogasi seorang tersangka makar. Pikiranku terus berkecamuk memikirkannya, juga ibunya. Sedang apa dia sekarang? Apa dia juga memandangi purnama seperti yang kami lakukan tadi? Seandainya dia melihat purnama malam ini, apa yang dilihat seindah yang kami lihat?

    “Pa, aku belum bisa bobo,” Gabriel mengejutkanku, ”papa dongengin aku dong.”
    “Tadi kan udah ngantuk banget, masa enggak bisa bobo? Kenapa sayang?”
    “Aku kangen dongeng mama.”
    “Kamu pengen papa dongeng apa?”
    “Apa aja Pa.”

    Cepat-cepat aku memikirkan apa yang akan kuceritakan, aku tidak pandai mendongeng, beda sekali dengan ibunya. Akhirnya aku menemukan juga ide cerita tentang kehidupan ganas padang rumput Afrika.

    “Eeeeeh... papa ceritain tentang singa dan rusa di padang rumput Afrika ya.”
    “Iya,” katanya hampir tak terdengar.
    “Suatu ketika di pinggir padang rumput yang masuk dalam wilayah Kenya, hidup seorang bernama Dennis Montgomery. Dokter hewan dan petualang berumur empat puluh tahunan berasal dariInggris, anak tunggal seorang jenderal yang kaya raya. Sudah bertahun-tahun dia hidup seorang diri di sana, ditemani puluhan hewan yang dirawatnya.”

    “Kenapa dia hidup sendiri di sana Pa?”
    “Dia kecewa dengan peradaban manusia di kota besar yang menurut mayoritas orang sangat modern dan beradab. Menurut Dennis, kehidupan hewan-hewan di alam bebas justru “lebih manusiawi” dibandingkan kehidupan orang kota.”
    Gabriel masih mendengarkan, matanya semakin redup.

    “Dennis setiap hari mencari hewan-hewan yang terluka kemudian membawa ke rumahnya dan merawatnya hingga menurutnya layak untuk kembali dilepaskan di alam. Di belakang rumahnya ada tempat yang luas berpagar kawat mengelilinginya tempat dia merawat hewan-hewan tersebut. Dia tidak memisahkan hewan yang dirawatnya, hewan pemangsa dan hewan yang biasa dimangsa dijadikan satu tapi anehnya di tempat itu mereka bisa berkumpul bersama tanpa ada yang di mangsa.”
    “Kok bisa ya Pa?”
    “Mungkin karena di tempat itu mereka sama-sama merasa lemah, “ jawabku asal saja, “mereka punya semboyan sesama pasien dilarang saling memangsa.”
    “Lucu juga ya Pa. Emang mereka bahasanya sama ya? Semua hewan bahasanya sama Pa?” saat sudah ngantuk dia masih kritis juga.

    “Mereka mempunyai bahasa masing-masing, tetapi mereka semuanya paham dengan bahasa tubuh. Jadi mereka tetap bisa berkomunikasi dengan baik.”
    “Terus cerita singa dan rusanya mana?”
    “Suatu hari ketika seperti biasa Dennis berkelana di padang rumput mencari hewan-hewan terluka, dia menemukan seekor singa kecil yang terluka ditinggalkan kawanannya di bawah pohon, dan tak jauh dari situ juga ada rusa yang patah kakinya. Singa itu baru berumur enam atau tujuh bulan sedangkan si rusa sudah dewasa. Kemudian Dennis membawanya pulang dengan Land Rover hijau tua yang sudah penyok di sana-sini.”

    Aku berhenti sebentar menunggu kalau ada pertanyaan atau komentar dari Gabriel, tetapi dia diam saja.

    “Sesampai di rumahnya,” aku melanjutkan, “singa dan rusa itu langsung di bawa ke tempat perawatan. Keduanya langsung di bersihkan dan di obati luka-lukanya, setelah di beri makan mereka di lepaskan di tempat berpagar kawat di belakang rumahnya. Ternyata rusa itu baru melahirkan dan anaknya ketiga anaknya sudah habis dimangsa cheetah, melihat anak Singa itu tidak punya induk, dia mendekati dan mencoba menyusuinya. Anak singa itu menyeringai waspada ketika dihampiri, tetapi setelah memahami rusa itu mau memberikan air susunya, maka dia dengan tenang menyusu pada rusa itu.”
    “Hewan-hewan itu gak punya nama ya Pa?”
    “Oh iya, papa lupa, Dennis selalu menamai hewan-hewan yang di rawatnya,” aku berpikir nama apa yang bagus untuk kedua hewan itu, “anak singa itu diberi nama Panji, rusanya diberi nama Sedayu.”
    “Lho, Dennis orang Inggris kan Pa? Kok nama yang diberikan nama jawa sih?”

    Baru terpikir juga olehku, masa orang Inggris menamai hewan dengan nama-nama jawa. Tahu dari mana dia nama-nama Panji dan Sedayu itu.
    “Iya, papa belum cerita ya tadi,” aku berpikir keras menjawabnya, “Dennis pernah menjadi sukarelawan di Kebun Raya Purwodadi di Jawa Timur sana sayang.”
    “oooh...”

    “Papa terusin ceritanya ya?”
    “Iya.”
    “Kira-kira dua tahun kemudian setelah diajari berburu, Panji dilepaskan lagi di alam. Sementara Sedayu masih belum pulih kakinya, saat berpisah mereka kelihatan sedih. Panji sudah menganggap Sedayu sebagai ibunya sendiri.”
    “Apa hewan itu bisa kangen juga ya Pa?”
    “Enggak dong sayang. Eh, tapi papa enggak yakin juga sih.”
    “Terus gimana ceritanya Pa?”

    “Setelah berpisah dengan Panji, Sedayu merasa kesepian meskipun di tempat perawatan itu masih banyak hewan yang lain. Ada yang pergi dan banyak juga yang datang. Satu setengah tahun kemudian, baru Dennis merasa Sedayu telah siap dilepaskan ke alam. Siang itu Sedayu dinaikkan ke mobil Dennis, di bawa ke padang rumput dicarikan kawanan rusa untuk dilepaskan. Setelah dua jam berkeliling di padang rumput, Dennis baru menemukan sekawanan rusa sedang minum di danau yang mulai mengering. Sedayu langsung berbaur dengan kawanan itu begitu dilepaskan, tidak ada yang tahu apa kawanan rusa itu kawanan Sedayu sebelum dirawat Dennis atau bukan.”

    “Panji gimana Pa?”
    “Panji belum menemukan kawanan juga, dia masih hidup sendirian karena memang tidak mudah untuk masuk menjadi anggota kawanan singa. Singa jantan yang memimpin kawanan biasanya tidak mau menerima singa jantan asing untuk masuk menjadi anggota kawanannya.”

    “Yah, kasian ya Pa, Panji sendirian. Tapi dia udah bisa mencari mangsa sendiri ya?”
    “Iya, Panji udah pandai berburu. Suatu sore Panji mengendap-endap menunggu kawanan rusa yang beriringan menuju danau untuk minum. Saat itu langit bersih biru tanpa ada awan sama sekali, rumput-rumput coklat kering karena berbulan-bulan tidak pernah turun hujan di sana. Dengan sabar Panji menunggu saat yang tepat untuk menyerang, sementara kawanan rusa itu belum menyadari keberadaan Panji di balik rerumputan kering.”

    “Kalo Sedayu ada dalam kawanan itu, apa Panji masih mengenalinya ya?”
    “Mungkin aja Panji masih mengenali Sedayu. Pada saat yang tepat, Panji melompat ke arah kawanan rusa yang langsung berlarian lintang pukang menyelamatkan diri masing-masing. Panji mengejar seekor rusa dewasa yang menjadi targetnya. Tidak sampai dua menit rusa itu Panji sudah berhasil merobohkan rusa itu dan menggigit lehernya yang memutuskan urat nadi mangsanya.”

    Aku berhenti sebentar minum segelas air putih di sampingku kemudian melanjutkan dongeng itu,
    “Beberapa detik setelah memutuskan nadi mangsanya, Panji segera melepaskan gigitannya. Panji baru menyadari bahwa rusa yang baru dilumpuhkannya itu adalah Sedayu. Dengan panik Panji menutup luka di leher Sedayu yang sudah lemas tidak sadar dengan kakinya, tetapi Sedayu sudah tidak tertolong lagi. Panji sangat menyesali kenapa dia tidak mengenali Sedayu yang sudah dianggapnya sebagi ibunya sendiri sejak dari tadi. Saat Panji sedang menyesali kebodohannya itu, dengan cepat lima ekor hyena mendekatinya hendak merebut Sedayu. Biasanya singa yang berburu sendiri akan kehilangan mangsa yang sudah dilumpuhkan karena direbut sekawanan hyena. Panji ingin menebus kesalahannya dengan mempertahankan Sedayu, setelah menggertak kawanan hyena itu Panji segera menyerangnya. Pertarungan pun tak bisa dihindari lagi, Panji melawan lima ekor hyena yang rahangnya mampu meremukkan tengkorak seekor banteng dewasa. Penuh luka dari gigitan-gigitan kawanan hyena itu, Panji masih bisa menerkam dan menggigit leher seekor hyena sementara empat ekor hyena yang lain semakin ganas menyerang punggung dan kaki belakang Panji. Setelah bertarung habis-habisan akhirnya Panji mati, seekor hyena juga mati dan dua ekor hyena yang lain terluka parah.”

    Sejenak kulihat Gabriel sudah tertidur, kukecup dahinya. Kulihat jam dinding yang saat itu menunjukkan jam 23:35 kemudian aku keluar kamar pohon dan menuruni empat puluh delapan anak tangga tali.
    Purnama masih bersih indah tak berawan, kunyalakan sebatang rokok kemudian telentang di rumput menikmati keindahan purnama malam itu. Pikiranku kembali kepadanya, apa dia menikmati indahnya purnama malam ini?

    depok, rabu 15 maret 2006 ; 00:54.

    Monday, March 13, 2006

    darah dan airmata

    Hening. Kamar sempit itu berantakan. Berbagai barang tak tertata rapi, sebuah hanger baju berwarna kuning tergeletak begitu saja di atas kasur tanpa ranjang, sebuah novel kecil terlihat sebagian dari balik bantal tak bersarung. Meja yang berjarak 50 sentimeter dari kasur itu tak kalah berantakan. Buku-buku beragam ukuran berserakan di atasnya, sebungkus susu coklat ukuran 500 gram yang tak penuh lagi dan beberapa sachet cereal berada di antaranya. Batang sisa dupa beraroma opium yang dibakar malam sebelumnya terjepit di bawah buku tebal, abu hitamnya masih berserakan di bawahnya tak jauh dari asbak yang telah penuh dengan puntung rokok. Tidak begitu jauh dari meja itu di bawah jendela berteralis besi coklat yang terbuka teronggok tumpukan baju kotor entah telah berapa lama berada di sana, di sebelahnya sebuah dispenser yang sudah kosong tetapi masih dinyalakan. Yang menunjukkan kamar itu pernah rapi hanyalah deretan botol-botol minuman di bawah teve. Botol-botol berbagai bentuk dan ukuran yang sudah kosong itu tertata rapi, terlihat juga yang menata memperhatikan unsur estetik.

    Sepasang manusia yang tak saling bicara termenung dengan pikiran masing-masing duduk di atas kasur itu. Entah telah berapa lama keduanya terdiam, entah apa mereka memikirkan hal yang sama. Keduanya menitikkan airmata, bukan airmata bahagia tentunya. Tetap sunyi, angin seperti mendesah perlahan menyelinap diantara kesunyian membentur benda-benda padat dalam kamar itu, juga sepasang manusia tak bersuara.
    “cckkcckcck....cckkcckkcckk....” suara cicak tak berekor memecahkan keheningan malam itu dengan sabar menanti nyamuk yang tak pasti kapan akan lewat di dekatnya. Suara cicak itu menandakan adanya kehidupan dalam kamar, bukan hanya kesedihan yang memenuhi udara di sekelilingnya.

    Hening. Bahkan angin pun tak betah berlama-lama berada dalam kamar seakan memberi kesempatan kedua manusia memadu kesedihan dalam kebisuan. Terasa pekat kesedihan mengambang di udara bercampur dengan bau hujan yang telah berlalu beberapa jam sebleumnya dalam kamar itu dan sepasang manusia di dalamnya tidak ada yang tahu bagaimana akhir dari cerita yang akan mereka lakoni. Orang-orang yang menghela nafas puluhan kilometeter dari kamar itu pasti akan merasakan anyir kepedihan yang terbawa oleh angin yang sempat mampir sejenak dalam kamar itu, meskipun mereka tidak tahu darimana kepedihan itu bersumber. Yang mereka tahu hanyalah adanya kepedihan itu dan mereka juga tidak peduli dari mana asalnya.

    “Apa yang harus kita lakukan mas?” sekonyong-konyong wanita itu menemukan kata-kata untuk memulai pembicaraan.
    “Aku juga enggak tau apa yang mesti kita lakukan,” jawab pria itu lemah tanpa solusi,”kamu kan sudah tau gimana melanjutkan hidupmu.”
    “Tau apanya mas? Aku juga masih bingung mesti gimana...” balas wanita itu sambil matanya menerawang, airmatanya masih mengalir di kedua pelupuk matanya.
    “Udahlah enggak usah pura-pura, aku tau kamu sama dia udah berbulan-bulan yang lalu memulainya cuma aku belum berani memastikan karena kamu selalu membantahnya.”
    “Sama siapa mas?”
    “Kamu masih menyangkalnya juga? Setelah aku mendapatkan bukti yang tak terbantahkan lagi kamu masih berpura-pura juga?” sergah lelaki itu, “aku tau kamu sudah memulainya berbulan-bulan yang lalu, dan setiap ditanya teman-temanku aku tidak menyinggung-nyinggung keberadaan pria barumu itu karena aku memang belum punya bukti yang kuat, sementara pengakuan darimu pun tak kunjung datang.”
    Wanita itu diam saja, mungkin sedang merangkai jawaban yang tepat atau memang sudah klehabisan kata-kata. Untuk sementara mereka terdiam lagi, kesunyian kembali menyelimuti mereka, kesunyian dengan anyir kepedihan memenuhi kamar sempit itu lagi hingga menyeruak keluar dan tercium orang-orang yang berada puluhan kilometer jauhnya.

    “Hanya untuk memastikan bahwa kamu memang sama dia,” laki-laki itu kembali berbicara setelah tak ada jawaban dari kekasihnya atau mantan kekasihnya itu, ”aku mengkhianati prinsipku sendiri untuk menghargai privasi setiap orang. Dan memang aku menemukan jawaban yang kucari selama ini, bukan pengakuan darimu tapi justru dari jalan yang tak pernah terkira olehmu. Kamu bisa mendustaiku, juga teman-temanku. Tapi aku belum begitu terbutakan cinta, mungkin cuma sedikit rabun saja sehingga masih melihat meski samar-samar seperti bayangan pepohonan di bawah sinar bulan purnama tertutup kabut. Kamu bisa bilang semuanya untuk melanjutkan hidupmu, tapi kamu pasti enggak bisa menipu dirimu sendiri, kamu sudah memulainya semenjak berbulan-bulan yang lalu dek!”
    “Mas...”
    “Tanda-tanda itu begitu jelasnya dek, begitu nyata,” lelaki itu mulai terbakar amarah, “tetapi andaikata di ruang sidang, tanda-tanda itu tidak bisa dijadikan bukti sehingga aku harus mencari bukti untuk membenarkan keyakinanku.”
    “Iya mas, aku...”
    “Aku sudah tidak perlu pengakuanmu lagi, memang aku sudah tidak bisa mempercayai kata-katamu juga airmatamu itu, simpan saja airmata itu untuk pria barumu.”
    Wanita itu diam saja, tangisnya semakin menjadi.

    “Dan berani-beraninya kamu melarangku untuk minum. Selama ini aku selalu mabuk oleh cintamu, atau mungkin sekedar dustamu memang hanya kamu yang tau. Aku ini memang pemabuk dek, yang selalu mendapatkan mimpi dan menikmati entah mabuk oleh apa. Ketika kamu tidak memberikan cinta, atau dusta yang memabukkan itu, wajar kan kalau aku minum untuk bisa mabuk lagi yang sudah begitu seringnya kunikmati denganmu. Aku hanya ingin menemui gabriel kecilku dek.”
    “Gabriel siapa mas?” dengan terisak-isak terucap juga kata-kata dari mulut wanita itu.
    “Dia hanya ada di atas langit sana, karena dia tau yang paling beruntung adalah yang tak pernah dilahirkan sehingga dia juga tak sudi terlahirkan ke dunia ini. Dia adalah anak kita dek, anak yang tak pernah terlahir di dunia ini.”
    “Mas... kamu sudah gila mas, aku tidak kenal kamu yang sekarang ini. Aku mau kamu seperti dulu lagi mas,” pinta wanita itu.
    “Kamu tau waktu tidak akan pernah berjalan mundur, gimana caranya aku bisa seperti dulu lagi, sedang kamu pun telah berubah dek. Kamu juga tau semua orang berubah, lalu kenapa kamu masih memintaku seperti dulu lagi?”
    “Lalu apa maumu mas?” tanya wanita itu pasrah.
    “Aku hanya ingin merasakan nikmatnya bercinta denganmu pertama dan terakhir kali, once in a lifetime karena aku tidak akan bisa bercinta dengan yang lain.”
    “Tidak bisa mas, aku sudah punya orang lain dan aku tidak bisa mengkhianatinya.”
    “Iya, aku tau kamu sudah punya pria lain. Semoga dia tidak akan pernah mengkhianatimu. Aku tau orang baik akan mendapatkan orang baik juga, sedangkan aku memang tidak cukup baik untuk orang sebaik kamu. Cuma aku memang tak tau diri selama ini, selalu mengharapkan orang sebaik kamu.”
    “Mas jangan ngomong kayak gitu, mas baik kok.”
    “Ya sudah, whatever you say lah.”
    “Terus gimana mas, adek mesti gimana?”

    Lama keduanya terdiam lagi, mempertimbangkan langkah apa yang harus mereka ambil. Waktu sudah menunjukkan jam 01:39, waktu yang sangat larut untuk wanita yang tak terbiasa tidur malam itu. Anyir kepedihan semakin memenuhi kamar itu, cicak yang tadi menanti nyamuk terbang di dekatnya juga sudah tak tampak lagi. Entah kemana dia pergi, tidak ada yang tahu apa dia sudah sempat mendapatkan mangsanya di sana.
    Tiba-tiba saja lelaki itu bangkit dari duduknya, melangkah ke meja dan membuka lacinya. Dia mengeluarkan sebuah pistol semi otomatis Heckler & Koch yang dibelinya dari seseorang tiga hari seblumnya dan menimang-nimangnya sesaat kemudian berbalik menatap wanita itu yang semakin terisak, nampak jelas raut ketakutan di wajahnya.

    “Mas! Apa yang akan kamu lakukan mas?”
    Lelaki itu tetap diam menatap lurus ke mata wanita yang semakin histeris, airmata semakin deras mengalir dari matanya. Lelaki itu tak kuasa menahan airmatanya yang dengan cepat membanjir, menerjang keluar dari matanya.
    “Aku hanya ingin mati di sisimu, enggak ada lagi lagi yang kuinginkan selain itu. Dan semoga kamu bahagia dengannya,” terbata-bata lelaki itu mengucapkan kata-katanya yang terasa sulit keluar dari mulutnya sambil mengangkat pistol itu.
    “Mas! Jangan! Inget ibu mas...”
    “Dor!” tiba-tiba saja terdengar letusan pistol itu memuntahkan sebutir proyektil yang menembus kepala lelaki itu dari kanan ke kiri. Darah muncrat dari kedua lubang di kepalanya, menyembur deras membasahi kedua pipinya terus mengalir memerahkan bajunya, beberapa titik darah menempel di muka wanita itu dan sebagian bajunya. Lelaki itu roboh di pangkuan wanita itu yang semakin histeris menggoyang-goyang tubuh tak bernyawanya.
    “Mas! Mas!” airmata yang mengalir deras dari matanya bercampur dengan darah menggenangi lantai keramik putih kamar itu. Wanita itu menciumi dahi dan pipi manusia yang baru jadi mayat di pangkuannya.

    Anyir kepedihan berbaur dengan kematian mengental di udara yang semakin menyesakkan bagi semua makhluk yang menghirupnya. Tercium hingga ratusan atau ribuan kilometer jauhnya, bau hujan sudah menguap entah kemana.

    Sunday, March 12, 2006

    forever and one

    What can I do?
    Will I be getting through?
    Now that I must try to leave it all behind
    Did you see what you have done to me?
    So hard to justify
    Slowly it's passing by

    Forever and one
    I will miss you
    However, I kiss you
    Yet again
    Way down in Neverland
    So hard I was trying
    Tomorrow I'll still be crying
    How could you hide your lies
    Your lies

    Here I am
    Seeing you once again
    My mind's so far away
    My heart's so close to stay
    Too proud to fight
    I'm walking back into night
    Will I ever find someone to believe?

    Forever and one
    I will miss you
    However, I kiss you
    Yet again
    Way down in Neverland
    So hard I was trying
    Tomorrow I'll still be crying
    How could you hide your lies
    Your lies

    (by andi deris/helloween)

    untuk gabriel kecilku

    gabriel
    maafkan ayah
    tak kuasa menghadirkanmu
    gabriel
    maafkan ibu
    tak bersedia mengandungmu
    gabriel
    maafkan kami
    tak mampu bersatu

    gabriel
    salahkah ayah
    mengabadikan cinta dalam jiwa
    tak peduli lagi dengan raga
    gabriel
    salahkah ibu
    melacurkan cinta dalam sukma
    mengejar satu kata bahagia
    gabriel
    salahkah kami
    mengartikan cinta sungguh berbeda
    telah mencoba menjadi bahagia

    gabriel
    biarkanlah ayah menghadapi
    keras dan kejamnya dunia
    gabriel
    biarkanlah ibu mencari
    tenang dan indahnya dunia
    gabriel
    biarkanlah kami menjalani
    pahit dan manisnya dunia

    gabriel
    beruntunglah tak terlahirkan
    berbahagialah di atas langit sana
    tak ada kata susah di atas langit sana
    gabriel
    ayah akan membangun rumah mungil
    untuk kita tempati bersama
    bersatu di atas langit sana
    gabriel
    tunggulah kami dengan tenang
    dalam rumah mungil itu
    bahagia di atas langit sana

    Saturday, March 11, 2006

    rumah mungil, mimpi kecil

    Halaman belakang rumah mungilku cukup luas untuk bermain bola, tertutup rumput yang terpotong rapi terdapat sebuah gawang kecil terbuat dari besi lengkap dengan jaringnya di ujung halaman belakang. Di tengahnya, tidak tepat di tengah-tengah, sebuah pohon trembesi berumur puluhan tahun yang rindang memberikan naungan mengurangi panasnya terik matahari. Ada sebuah ayunan di bawah pohon trembesi itu dan rumah pohon kecil di atasnya dengan tangga terbuat dari tambang menjutai ke bawah, keduanya kubuat sendiri, dan sebuah bangku taman tua -- tanpa meja -- terbuat dari kayu jati tanpa menggunakan paku hadiah dari seorang teman. Sepeda BMX yang masih baru hadiah ulang tahun keenam Gabriel tergeletak begitu saja di dekat ayunan.

    Pagi itu cerah sekali, hanya sedikit awan tipis menodai birunya langit. Dona dan Doni, sepasang rottweiler kesayanganku bermain-main di bawah pohon trembesi, berebut sebuah mainan berbentuk tulang dan sesekali saling menggonggong, sementara Brownie, seekor kucing kampung yang hampir tidak terpisahkan dengan Gabriel, tak terganggu tidurnya di atas ayunan. Seorang anak kecil berambut lurus berumur 6 tahun beberapa bulan – dialah Gabriel si buah hatiku -- dengan hati-hati menuruni tangga tali, tadi malam dia tidur di rumah pohon itu, menghampiri kucing kesayangannya dan menggendongnya kemudian langsung berlari kecil menuju dapur.

    “Maaaaa, mana susuku?” dia berteriak memanggil ibunya yang sedang menyusui adiknya di ruang keluarga.
    “Mama belum sempat membuat susunya Kak, Kakak belajar membuat susu sendiri ya kan udah gede. Sana minta ajarin papa caranya, pasti kakak bisa kok. Papa lagi nyiramin bunga di depan.”
    Taman kecil di halaman rumah mungilku sangat terawat di dominasi anggrek dan kantong semar berbagai jenis, beberapa tangkai anggrek berwarna putih dan kuning sedang mekar.
    “Masih lama gak Pa? Aku disuruh mama belajar bikin susu Pa, Papa ajarin ya?”
    “Iya, bentar ya kak. Papa tinggal nyiramin kantong semarnya, Kakak bantuin papa dong,” Aku ingin dia mencintai tanaman -- bukan hanya tanaman sebenarnya, tetapi alam ini.
    “Kakiku sakit Pa,” katanya manja.
    “Sakit kenapa Kak? Jatuh dari sepeda ya?”
    “Enggak Pa, kemarin main bola sama mas Slamet trus kakiku keinjek Pa. Tapi sekarang udah ga sakit banget Pa.”
    “Mana papa liat, luka gak Kak?”
    “Enggak” jawab Gabriel sambil mendekat menunjukkan kakinya yang sakit.
    “Ooo gak apa-apa kok” Aku berkata sambil menggulung selang air yang sebelumnya kupakai untuk menyirami bunga.

    "Kriiiiiing.... kriiiiiing...." terdengar dua kali dering telepon dari dalam rumah.
    “Kaaaak.... Telepon dari Eyang Putri, cepet yaa...” ibunya berteriak memanggil memberitahu ada telepon dari neneknya. Gabriel segera berlari masuk rumah dan mengambil gagang telepon dari tangan ibunya.
    “Halo Eyaaaaang... apakabar?” sambil terengah-engah dia menyapa neneknya di ujung sana.
    “Eyang mau kesini? Kapan?”
    “Asssiiiikkkk.... Aku juga kangen sama Eyang! Jangan lupa bawain rambutan ya, yang banyak!”
    “Aku juga sayang sama Eyang. Ati-ati ya Yang.”
    “Daaaaaaggg.....” setelah menutup telepon, Gabriel langsung berteriak riang menghampiriku dan ibunya. Aku masih serius membaca koran sementara itu ibunya menonton teve, acara gosip yang hampir tidak pernah terlewatkan sambil sesekali berbincang denganku.

    “Horeee...! Maaa... Eyang mau kesini!!!” teriak Gabriel, girang sambil melompat ke pangkuan ibunya.
    “Kak, jangan teriak-teriak nanti adik kecil bangun. Kapan eyang mau datang?” ibunya dengan perlahan menyahut, mengelus-elus rambut halus anak pertamanya itu.
    “Minggu depan Ma.”
    “Sama siapa eyang perginya Kak?” Aku bertanya kemudian meletakkan koran yang tadi kubaca.
    “Sendiri Pa.”
    “Eyang naik apa? Kita jemput eyang ya Kak minggu depan.”
    “Iya,” kemudian sambil berlari ke halaman belakang dia berteriak-teriak, “horeee... horeee... horeee...” lupa dengan larangan ibunya agar tidak berteriak-teriak.

    “Ibu sayang banget ya Mas sama cucunya,” istriku berkata pelan sambil mendekatiku, “padahal aku dulu takut banget kalo ibu ga akan menerima Gabriel sebagai cucunya.”
    “Iya, ibu pasti sayang sama semua cucunya,” jawabku sambil memeluknya dan dengan lembut mengelus lengan putihnya, ”ibu juga sayang sama kamu.”
    Dia hanya mengangguk pelan sambil menempelkan kepalanya di pundakku. Kami terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca, terharu. Kukecup keningnya sambil mengelus rambut tebalnya.
    I love you...” bisikku pelan di telinganya.


    << -*-*- >>

    “Woiii To, bangun!”
    Seseorang menggoncang-goncang kakiku, punggungku terasa dingin sekali seperti menempel di bongkahan es beku, kaku.
    “Beto lo, ngapain tidur di sini?” kata temanku yang belum kusadari siapa, “ayo pulang!”
    “Jam berapa sekarang?” gumamku, mataku masih terpejam.
    “Dah jam tiga betooo!”
    Sementara itu samar-samar kudengar lantunan lagu dari Overload Romance, entah dari teve atau darimana sumbernya aku tidak begitu yakin, yang aku ingat liriknya, “semua ini hanya mimpiku, semua ini hanya tentangmu...” kalau tidak salah judulnya Hanya tentangmu.

    Siangnya baru kusadari kalau tadi malam kebanyakan minum dan tertidur di toilet salah satu pusat perbelanjaan itu, untungnya masih ada temanku sadar. Aku tidak tahu pasti berapa lama tertidur di toilet itu, tapi saat itulah aku menemukan Gabriel kecilku entah dalam mimpi atau ilusi.

    Friday, March 10, 2006

    Butiran-butiran embun

    Butiran-butiran bening embun diujung dedaunan hijau. Bergantian jatuh, kadang juga bebarengan menunggu saat yang tepat saat tak kuat lagi menahan gravitasi. Menyegarkan rerumputan di bawahnya, sebagian meresapi hangatnya tanah, sebagian lainnya memercik di bebatuan menumbuhkan lelumutan hijau tua yang menjijikkan bagi sebagian orang.
    Beberapa butir yang lain berhasil mengalahkan gravitasi meskipun tetap dikalahkan kekuatan yang lain, menguap menyerah kalah pada matahari. Kehilangan jati dirinya tak berarti kehilangan eksistensi, tetap ada meski berubah wujud dan juga berganti nama.

    Butiran-butiran bening seperti itu juga yang ada di ujung hati mereka. Ada yang meresapi hatiku, sebagian sekedar memercik sementara sebagian yang lainnya menguap begitu saja.

    ………………………
    “Manusia yang kehilangan jati dirinya tidak akan berarti meskipun dia menguasai dunia.” (Henry Kissinger)
    ………………………
    Dalam kamar-hijau-pucat-ku, 08-03-06; 00:44

    Tuesday, March 07, 2006

    membingkai purnama dengan mimpi-mimpi

    seandainya saja sepotong senja paling indah itu belum diambil SGA, tentu aku akan mengambilnya untukmu, aku tidak peduli lagi apakah semua isi dunia ini akan mengejar-ngejarku mencoba untuk memaksaku untuk mengembalikan potongan senja terindah itu, atau bahkan mungkin juga ingin membunuhku. memang masih teramat banyak potongan-potongan senja yang lain, tapi aku hanya mau memberimu yang terindah, kalo cuma potongan senja yang biasa aku tidak akan bangga memberikannya untukmu.

    hujan yang mengabadikan cinta itu juga sudah diambil SGA, seandainya terijinkan oleh penguasa dunia untuk terjadi beberapa hujan abadi, aku akan menciptakan hujan itu meskipun cuma jadi yang kedua setelah SGA. tapi hujanku itu akan lebih abadi dari hujannya SGA, tak terbayangkan sesuatu yang lebih abadi dari yang abadi. mungkin itu memang akan mengganggumu sepanjang waktu, tapi setidaknya bukan aku yang terus mengikutimu, hanya hujanku saja yang terus mengikutimu.

    di waktu yang akan datang yang belum terjangkau oleh pengetahuanku saat ini, aku akan mengguntingkan purnama untukmu. tentu saja purnama tersempurna yang pernah ada dan mungkin juga belum pernah terlihat seluruh makhluk di dunia ini,bahkan mungkin yang di alam gaib juga belum pernah melihat purnama seindah dan sesempurna itu. hanya aku saja yang akan melihat purnama itu dan akan segera kupotong untuk kubagi denganmu, oh tidak, aku tidak akan membaginya denganmu, aku akan mempersembahkannya untukmu karena aku tahu purnama itu tak akan sempurna lagi kalo terbagi. purnama yang hanya terjadi se-per-sekian juta detik itu --malaikat yang bertugas membuat purnama juga tak sempat menyadari bahwa dia telah membuat purnama terindah dan tersempurna selama menjalankan tugasnya-- akan kuabadikan dengan sebuah bingkai indah yang terbuat dari mimpi-mimpi. aku akan tetap terjaga sepanjang masa hanya untuk menunggu kejadian itu, disaat hampir semua orang sudah terlelap bertahun-tahun, orang yang menderita imsonia juga akan tertidur pulas saat purnama itu datang. aku akan tetap menunggu datangnya purnama itu dan hanya akan memberikannya untukmu. ya, hanya untukmu seorang.

    ....................
    terinspirasi "sepotong senja untuk pacarku" oleh SGA

    Monday, March 06, 2006

    ga jelas

    ada, ribet
    ga ada, pusing
    punya, bingung
    ga punya, gila
    bareng, brantem
    pisah, kangen
    ......................

    "trus gmn dunk?"
    "ya mati aja sono lo! hehehe..."
    "mang kalo gw mati dah ga pusing lg ya?"
    "yeee... mana gw tau!!??"
    "kalo gitu ngapain lo nyuruh gw mati? kalo blum pasti gitu setelah mati gimana?!"
    "yaudah, kalo gitu ngapain kek biar ga pusing..."
    "ya itu dia, gw mikirin cara buat ngilangin pusing malah tambah pusing, ga nemu2 caranya gimana."

    simple question

    pertanyaan sederhana dan terkadang juga cuma basa-basi
    ARE YOU OK?
    memang pertanyaan mudah, tapi tahun ini gw kesulitan memberikan jawaban apabila pertanyaan itu diajukan. sulit sekali menjawabnya, jadi kadang gw juga ga mau jawab kalo ditanya seperti itu. kalo pertanyaan itu diajukan sekedar dimaksudkan untuk basa-basi, gw juga akan menjawabnya dengan basi.

    Friday, March 03, 2006

    One Year Of Love

    Just one year of love, is better than a lifetime alone
    One sentimental moment in your arms
    Is like a shooting star right through my heart
    It's always a rainy day without you
    I'm a prisoner of love inside you -
    I'm falling apart all around you - yeah

    My heart cries out to your heart
    I'm lonely but you can save me
    My hand reaches for to your hand
    I'm cold but you light the fire in me
    My lips search for your lips
    I'm hungry for your touch
    There's so much left unspoken
    And all I can do is surrender
    To the moment just surrender

    And no-one ever told me that love would hurt so much (Oooh yes it hurts)
    And pain is so close to pleasure
    And all I can do is surrender to your love
    Just surrender to your love

    Just one year of love, is better than a lifetime alone
    One sentimental moment in your arms
    Is like a shooting star right through my heart
    It's always a rainy day without you
    I'm a prisoner of love inside you
    I'm falling apart all around you
    And all I can do is surrender

    ....................
    just another lyric from QUEEN

    Kemudi mu

    aku pasrah pada kemudimu
    yang mengalirkan aku
    berputar-putar tak menentu

    ke hilir...............................
    ...............................ke hulu

    ................utara..................
    barat..................................
    ................timur..................
    selatan................................

    asal jangan kau benamkan aku
    (danny kosasih ???)

    ............................
    kopas dari sebuah imel, tidak tahu pasti apa itu puisinya danny atau bukan.
    "kau benamkan aku pun tak mengapa bagiku"

    Thursday, March 02, 2006

    perjalanan yang gagal

    abis nonton "GIE", langsung gw kangen ma mandalawangi, sebuah lembah dengan taman rumput dan edelweisnya yang terletak di puncak gn pangrango. mandalawangi adalah tempat favorit soe hok gie, sampe ada temen yang namain "gie spot".
    rencana perjalanan pun sudah tersusun, karena tau TNGP (taman nasional gede pangrango) ditutup sampe akhir maret, maka kami menyusun siasat dengan minta ijin untuk naek ke air terjun. biasanya kalo ijin untuk ke air terjun tetap bisa meskipun untuk pendakian ditutup. sebagian rombongan hanya akan camping di air terjun cibeureum, sedangkan yang lain akan terus mendaki sampe mandalawangi dan bermalam di sana.
    kami berangkat dari depok (gw, adek, mawar, acil, boy, ucok, bobi, sander) sabtu pagi sekitar jam 05:30 ke cibodas, satu orang lagi berangkat dari bandung (ipunk) sekitar jam 04:00, meeting point kami adalah di pertigaan cibodas. sampe di pertigaan cibodas kira-kira jam 07:00, sambil menunggu ipunk, kami membeli beberapa bungkus rokok dan gorengan untuk mengganjal perut yang kosong. sepuluh menit kemudian, ipunk tiba dan kami pun berangkat lagi menuju cibodas.
    sampe di kantor TNGP, kami langsung mengurus ijin untuk ke air terjun, tapi sialnya kami tidak boleh bermalam, harus turun hari itu juga. setelah mempertimbangkan berbagai macam pilihan, akhirnya kami jadi juga pergi ke air terjun, sebagian besar perbekalan ditinggal di mobil.
    (jembatan kayu)

    (nongkrong dulu sambil)

    (mejeng rame-rame)

    sekitar satu jam jalan kaki, sampe juga kami di air terjun cibeureum, ada beberapa perubahan jalan menuju ke air terjun, dimana di dua tempat yang dulu kami harus melalui rawa-rawa sekarang sudah dibangun jembatan/jalan kayu. selain itu tidak banyak yang perlu diceritakan lagi, kami cuma mengambil beberapa foto.


    (begaya di cibeureum)


    (snapshot)

    sekitar jam 16:00 kami sudah sampe tempat parkir mobil, kami sempat membeli beberapa kilogram alpukat dan beberapa sayuran untuk dibawa ke situ patengan/patenggang, ciwidey. kemudian kami langsung melanjutkan perjalanan ke ciwidey.
    sekitar jam 10 malam kami sampe juga di situ patengan, dan segera mendirikan tenda di dalam sebuah bangunan tak berdinding. karena tenda cuma satu, maka beberapa orang tidur di mobil. gw, acil, boy ma ucok sempat maen gaple, ipunk sebagai danzipur sibuk dengan peralatan masaknya sampe sekitar jam 1 malam. sekitar 2jam 2 kami berlomba mengejar mimpi masing-masing, gw ma ipunk tidur di depan tenda dengan sleeping bag masing-masing.
    keesokan harinya kami menyewa perahu, rombongan pertama ucok, adek, mawar, bobi, boy, sander sementara gw, ipunk dan acil masih bermalas-malasan di sekitar tenda, makan telor yang sudah direbus tadi malam.
    setelah rombongan pertama sampe, giliran gw, ucok, acil, ipunk pergi dengan perahu. kami sempat berjalan-jalan di kebun teh diseberang, mengambil beberapa foto. kemudian berperahu lagi menyusuri pinggiran danau, ucok penasran dengan papan kuning yang kelihatan dari kejauhan kemudian kami menuju kesana. ternyata papan kuning itu bertuliskan "DAERAH BERBAHAYA", sehingga kami dengan cepat mendayung untuk menjauhi daerah itu langsung menuju tempat pemilik perahu menunggu.

    (bagio, fotomodel gocengan)


    (mejeng ma gosh)


    (fotomodel on d job)


    sekitar jam 11 siang kami meninggalkan situ patengan, mampir disebuah pos dipinggir kebun teh, kemudian masak-masak dan makan siang.
    dua jam kemudian kami pulang menuju depok, jam 4 sore kami sampe depok, mengakhiri perjalanan yang gagal itu.

    (il mafioso)

    ANGGOTA TIM PERJALANAN YANG GAGAL


    (sander, staf supir)


    (adek, aspri dan pengawal wadanzipur)


    (acil, asisten potograper)


    (bobi, supir)


    (mawar, wadanzipur)


    (ucok, potograper, peronda dan nahkoda)


    (boy, kapir)


    (ipunk gosh, danzipur dan potograper)


    (gw, ketua)


    (gw, mantan ketua -- lengser gara2 dikudeta)